Mata Uang Negara Berkembang Tertekan di Awal Pekan

Ringgit Malaysia sentuh ke level terendah dalam 17 tahun pada perdagangan awal pekan ini.

oleh Ifsan Lukmannul Hakim diperbarui 27 Jul 2015, 21:45 WIB
Ilustrasi Liputan Khusus Perang Mata Uang

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Asia yang tertekan juga diikuti mata uang negara berkembang di awal pekan ini. Mata uang negara berkembang ini gagal memanfaatkan keuntungan saat indeks dolar Amerika Serikat (AS) terkoreksi pada level terendah dalam 12 hari menjelang pertemuan kebijakan bank sentral AS/The Federal Reserve pada Selasa dan Rabu.

Ringgit Malaysia sentuh level 3,811 per dolar AS, angka itu terendah dalam 17 tahun dan Rupiah juga ikut tertekan. Won, mata uang Korea Selatan menyentuh titik terendah tiga tahun. Demikian mengutip dari laman Reuters, Senin (27/7/2015).

Di Turki, mata uang lira melemah 0,8 persen terhadap dolar AS. Mata uang ini turun ke level terendah enam minggu setelah Ankara menyerang kamp pemberontak Kurdi di Irak untuk malam kedua, berpostensi  mengakhiri proses perdamaian dengan Kurdistan Workers' Party (PKK). Sentimen politik dinilai menjadi salah satu faktor menekan mata uang Turki.

Selain itu, baru baru ini, mata uang negara berkembang lainnya seperti Rand, Afrika Selatan  dan real Brasil telah jatuh ke posisi terendah beberapa tahun, karena harga komoditas merosot.

Penurunan harga minyak menambah kesengsaraan Rusia, rubel melemah hampir satu persen ke posisi terendah empat bulan terhadap dolar. Penguatan dolar AS juga menekan saham Rusia.

Di awal pekan ini, indeks saham China daratan anjlok lebih dari 8 persen. Pelemahan indeks saham harian terbesar sejak Februari 2007, hal tersebut memicu kembali kekhawatiran terjadinya kejatuhan pasar dan berpotensi berdampak buruk bagi aset-aset emerging market.

Indeks MSCI's emerging market turun 1,8 persen dalam empat sesi terakhir, bursa memerah di seluruh pasar Asia. Hal itu ada kekhawatiran atas kesehatan ekonomi China, dan aksi ambil untung. Sebelumnya  bursa saham China sempat rebound selama dua minggu dikarenakan pemerintah turun tangan menjaga kejatuhan aset Cina.

"Faktor fundamental  mengatur kondisi ekonomi di China, terutama setelah kami telah melihat beberapa data makro yang lemah," kata John-Paul Smith, Pendiri perusahaan konsultasi investasi Ecstrat. (Ilh/Ahm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya