Liputan6.com, Jakarta - Pelaku di industri kepelabuhan, supply chain dan logistik mendesak agar segera dilakukan pembenahan di Pelabuhan Tanjung Priok. Salah satunya dengan mengembalikan dan penguatan peran dan fungsi Otoritas Pelabuhan (OP) sebagai regulator yang selama ini terkesan terabaikan.
Zaldy Ilham Masita, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia mengungkapkan desakan ini tak berlebihan mengingat selama ini OP selalu kalah pamor dibandingkan Pelindo sebagai operator di pelabuhan. Akibat yang paling dirasakan adalah masih tingginya dwelling time atau waktu bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok.
Advertisement
Selain itu, banyak kebijakan di pelabuhan yang tanpa melibatkan OP sehingga sangat merugikan dan membebani biaya operasional para pelaku di industri kepelabuhan, supply chain dan logistik.
Hal ini pula yang menyebabkan dwelling time menjadi masalah klasik yang tak kunjung bisa dituntaskan. Fakta sejak SBY menjadi presiden selama dua periode, Menteri Koordinator Perekonomian sudah berganti 3 kali, Menteri Perdagangan berganti 3 kali, Kepala Bea Cukai juga berganti 3 kali. Bahkan Otoritas Pelabuhan yang juga berganti 3 kali, ternyata semua tak mampu menuntaskan masalah dwelling time.
"Kita butuh single authority di pelabuhan. Karena itu, OP harus diberi wewenang agar bisa menjalankan amanat UU Perlayaran sebagai regulator. Tanpa ada penguatan OP, program menurunkan dwelling time tidak akan berjalan dengan baik," ujar Zaldy, Selasa (28/7/2015).
Zaldy memaparkan, otoritas tunggal ini harus bisa mengatur semua lembaga yang berhubungan dengan pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap kelancaran arus barang di pelabuhan. Sedangkan lembaga lain harus di-BKO-kan di bawah pengawasan OP sesuai dengan fungsinya.
"Penguatan OP ini termasuk dengan memberikan budget dan wewenang melakukan tender untuk memperbaiki fasilitas pelabuhan yang selama ini dikuasai oleh Pelindo," tutur Zaldy.
Khusus untuk Pelindo, Zaldy mendorong agar dikembalikan ke fungsinya sebagai operator pelabuhan serta dilakukan reformasi secara internal di tubuh Pelindo, misalnya pergantian di jajaran direksi Pelindo II mengingat kinerja Pelindo II yang gagal baik di sektor biaya maupun layanan.
"Ini bisa dilihat dari perpanjangan operasional JICT ke Hutchison dan pengelolaan Kalibaru oleh PSA Singapura. Sekaligus ini membuktikan bahwa untuk menjadi jago kandang saja Pelindo II tidak bisa apalagi ekspansi ke luar negeri," tegas Zaldy.
Secara terpisah Aulia Febrial Fatwa, Ketua Umum Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI), menegaskan masalah dwelling time bisa diatasi jika semua kegiatan kepelabuhan dikembalikan lagi sesuai amanat di Undang-undang dan peraturan yang ada.
"Kembalikan saja ke khittahnya. Siapa yang berfungsi sebagai regulator dan operator. Jika ini dijalankan secara benar, tentu masalah dwelling time akan terpecahkan," kata Zaldy.
Aulia menilai, kegiatan kepelabuhan itu terbagi menjadi dua, pelayanan kapal dan pelayanan barang atau cargo handling. Prosesnya pun sangat mudah ditelusuri. Mulai dari kapal masuk ke pelabuhan, bersandar, melakukan kegiatan bongkar-muat, hingga kembali bertolak keluar dari wilayah pelabuhan.
"Jika ingin tahu di mana bottlenecknya, cukup ditelusuri satu per satu dari dua kegiatan utama kepelabuhan tersebut," kata dia. (Yas/Ahm)