Rupiah Loyo, Pasar Cemas Menanti Kebijakan AS

Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat semakin tajam menyusul sejumlah sentimen domestik maupun dalam negeri.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 28 Jul 2015, 15:43 WIB
Ilustrasi Pantau Rupiah (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)  semakin tajam menyusul sejumlah sentimen domestik maupun dalam negeri, terutama spekulasi kenaikan suku bunga acuan [Bank Sentral AS](2280860 "") atau The Federal Reserve (The Fed). Gejolak ini diyakini bukan karena fundamental perbaikan ekonomi Indonesia.

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Core Indonesia, Hendri Saparini mengungkapkan, faktor terbesar pergerakan kurs rupiah yang sangat drastis karena kondisi defisit transaksi berjalan dan kegiatan ekonomi jangka pendek, selain sentimen global.

"Naik turunnya rupiah bukan karena fundamental perbaikan ekonomi Indonesia, tapi lebih dipengaruhi faktor jangka pendek, permintaan dalam negeri, investasi jangka pendek dan kondisi global," terang dia saat Konferensi Pers Managing Economic Outlook di Jakarta, Selasa (28/7/2015).

Dari situasi dalam negeri, kata Hendri, rapot fiskal Indonesia masih mencatatkan defisit transaksi berjalan yang tidak akan bisa dituntaskan dalam jangka pendek. Terutama dari defisit jasa, seperti maraknya repatriasi keuntungan dari investor asing di Indonesia.

"Indonesia harus mencontoh negara lain yang bisa menutup satu defisit dengan sektor jasa unggulan. Seperti Thailand yang mengandalkan sektor pariwisata untuk menutup defisit jasa lain. Jadi kebijakan pemerintah harus mengarah ke sana," papar dia.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan, kurs rupiah dipengaruhi masalah fundamental dan sentimen. Fundamental ekonomi, diakuinya sangat baik mengingat ada surplus neraca perdagangan dari realisasi nilai ekspor lebih tinggi dibanding impor.

"Harusnya kalau ekspor tinggi, kurs rupiah terapresiasi, tapi ini masih melemah karena ada defisit neraca jasa karena repatriasi dan logistik asing," ucapnya.

Dia bilang, saat ini terjadi fenomena super dolar, karena kurs dolar AS mengalami penguatan di hampir seluruh mata uang dunia secara signifikan sejak enam atau sembilang bulan ini. Namun Luky mengklaim bahwa kurs rupiah masih terapresiasi terhadap Yen Jepang, Dolar Australia. Sementara mata uang Turki da Brazi melemah paling parah.

"Apalagi sekarang ada meeting reguler FOMC dari Bank Sentral AS. Investor bertanya-tanya kapan kepastian suku bunga acuan AS dinaikkan. Jadi market saat ini sedang dalam kondisi nerveous," papar Luky.

Dirinya meyakini nilai tukar rupiah sedang kembali menuju titik keseimbangan baru. Pemerintah dan Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas kurs rupiah agar tidak mengalami tekanan lebih dalam.

"Pemerintah dan BI bukan berarti pasrah, pasti ada kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan supaya rupiah stabil," tandas Luky. (Fik/Ndw)

2280860

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya