Liputan6.com, Pyongyang - Alessandro Ford merasakan kuliah di Universitas Kim Il -sung. Ia merasakan pengalaman yang luar biasa berbeda saat tinggal di negeri paling terisolasi ini.
Selama satu semester dari bulan Agustus hingga Desember 2014 lalu, ia belajar tentang Korea dari sisi Utara. Mahasiswa asing ada juga yang berasal dari China dan Rusia. Boleh dibilang ia "orang Barat" pertama yang berkuliah di situ.
Pengalaman kuliah di negeri Kim Jong-un diatur oleh ayahnya Glyn Ford, mantan anggota partai buruh di Uni Eropa. Ford senior adalah diplomat yang mondar-mandir melakukan misi diplomatik dengan Korut.
"Ayah selalu meledekku 'kalau kau belum memutuskan apa yang ingin kau lakukan saat liburan 1 semester, kamu akan ayah kirim ke Korut.'' Lama-lama, lelucon ayahnya membuat dirinya tertantang untuk merasakan pengalaman kuliah di Pyongyang.
Ford muda mengatakan bahwa segala tindak-tanduknya selalu dimonitor oleh pihak berwajib, ke manapun ia pergi. Setiap hari ia 'dicekoki' ideologi Juche, bahwa Amerika Serikat melakukan imperialisme. Bocah 18 tahun ini hanya boleh berinteraksi dengan 'dunia luar' 10 menit tiap minggunya untuk menelepon sang ibu.
Berbincang dengan Guardian, Kamis (30/07/15), ia mengatakan ini bukan kunjungan pertama kali ke Korut. Saat berusia 15 tahun, Ford menghabiskan liburan musim panasnya di DPRK. Meski keracunan makanan dan harus dirawat di rumah sakit, ia tak jera dan justru semakin tertarik dengan negara itu.
Dunia Elit Pendidikan
Meski tumbuh di budaya yang berbeda dengan teman kuliah sebayanya, ada kesamaan antara Alessandro Ford dengan lainnya. Alessandro adalah anak dari politisi EU yang mumpuni dan mengenyam pendidikan di sekolah internasional di Belgia.
Advertisement
Sementara, teman-teman kuliahnya dari Korut adalah anak-anak dari para elit di pemerintahan Pyongnyang.
Mahasiswa di Universitas Kim Il-sung adalah anak-anak dari anggota partai, pejabat senior, atau petinggi militer. Salah satu murid bahkan menghabiskan waktu di London karena mengikuti sang ayah yang bekerja di kedutaan besar.
Alessandro harus membayar 3 ribu poundsterling untuk 4 bulan bersekolah di DPRK.
Bayaran itu termasuk makanan dan akomodasi. Mirip dengan pendidikan di Barat.
Yang berbeda di kampusnya adalah, "Toilet jongkok, tidak ada shower, kami mandi bareng, gaya spartan Romawi."
Asrama tempat ia tingga cukup bersih dan nyaman, tapi sangat standar. Di musim dingin ia punya pengalaman tempat tinggalnya kehabisan air panas selama dua minggu sementara suhu mencapai minus 20 derajat Celcius.
Selama berkuliah, ia bebas berbicara dan bergaul dengan siapapun di kampus. "Kami berbincang-bincang sedikit tentang apa saja, tapi selalu dari perspektif mereka. Aku selalu maklum bahwa mereka percaya negaranya jatuh miskin karena Amerika Serikat."
"Kendala berinteraksi dengan murid lain cuma bahasa, hanya ada beberapa yang bisa berbicara bahasa Inggris denganku." tutur Ford.
Mahasiswa di 'barat' sudah terbiasa dengan tiga hal: seks, obat-obatan dan Rock n Roll. Tapi berbeda dengan teman sebayanya di Korut.
Saat mereka mendengarkan musik Eminen bersama, teman-temannya bertanya, "Kenapa ia menyanyi rap tentang dirinya, seks dan narkoba? Ia seharusnya membuat musik tentang keluarga dan negaranya,"
Alessandro juga berpendapat bahwa orang Korut sangat puritan. Mereka tidak punya budaya 'seks sebelum nikah'.
"Teman kuliah saya usianya 20 sampai 25 dan mereka masih perawan," ujar Ford. Ia juga tidak pernah melihat satupun orang berpacaran sambil ciuman.
"Mereka bilang mereka menunjukan ketertarikan dengan cara lain," jelasnya.
Bagaimana Bergaul dengan Korut?
Debat masih berlangsung bagaimana dunia mendekati Korut. Salah satu percaya bahwa pendekatan seperti yang dilakukan Ford adalah hal yang positif.
Namun, pihak lain tidak setuju. Karena tindakan semacam Alessandro Ford justru melegitimasi tindakan pemerintah Korut yang telah melakukan kekerasan terhadap kemanusiaan.
Bagi Ford tidak disangsikan lagi, "Aku pro-berkomunikasi dan pro-berinteraksi. Aku tidak melihat hal positif dari isolasi."
Alessandro Ford mendukung adanya semacam pertukaran kunjungan. Baik itu pendidikan maupun politik. Ia percaya pertukaran pelajar di masa depan akan membawa perubahan pemikiran tentang apa itu kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. (Ein)