Liputan6.com, Jakarta Ada satu momen di film Pixels, saat tokoh kita, Sam Brenner (dimainkan Adam Sandler) berbincang dengan bocah tentang perbedaan game tahun 1980-an dengan game masa kini.
Seperti dikatakan Sandler, game tahun 1980-an dimainkan di luar rumah. Anak-anak masa itu memainkan game di tempat khusus bermain game. Kita di Indonesia mengenal permainan yang disebut Arcade Game ini sebagai dingdong. Tahun 1980-an akhir dan 1990-an, tumbuh ramai arena dingdong jadi tempat kumpul anak-anak bermain. "Kami sebut bersosialisasi," kata Sam pada sang bocah. Ya, Arcade Game berbeda dengan game masa kini yang dimainkan sendirian di rumah, depan komputer, layar TV atau sabak (tablet).
Advertisement
Syahdan, kita diajak bernostalgia dengan game 1980-an oleh Adam Sandler lewat Pixels. Filmnya dimulai awal 1980-an, saat game dingdong alias Arcade Game mulai mewabah di AS. Kita berkenalan dengan Sam Brenner cilik yang jago main dingdong dan dua sahabatnya, Cooper dan Ludlow. Permainan itu membawa Sam ke kompetisi tingkat nasional dan bertarung dengan si cebol Eddie Plant (Peter Dinklage) di final. Sayang ia hanya jadi juara runner-up.
Cerita lalu meloncat ke masa kini. Kita bertemu lagi Sam Brenner dewasa bekerja sebagai pegawai instalasi barang-barang elektronik. Ludlow (dimainkan Josh Gad) menjadi pria yang terobsesi dengan teori konspirasi (katanya, Presiden Kennedy menembak duluan), sedang entah bagaimana Cooper jadi presiden Amerika.
Film ini berandai-andai, ketika awal 1980-an AS mengirim roket tanpa awak ke luar Bumi yang salah satu isinya Arcade Game. Roket itu ditangkap alien dan dianggap sebagai tantangan perang. Makhluk asing lalu mengirim pasukan Arcade Game menyerang Bumi. Maka, Bumi diserang permainan Galaga, Centipede, hingga Pac-Man.
Presiden Cooper menugaskan sahabatnya, Sam dan Ludlow, lalu juga Eddie Plant untuk mempertahankan Bumi. Turut serta pula Kolonel Violet (Michelle Monaghan), perwira militer yang ditaksir Sam.
Selain pameran efek khusus menghidupkan game tahun 1980-an, di film karya Chris Colombus (The Goonies, Home Alone, Harry Potter satu dan dua) ini kita bertemu peran-peran tipikal Adam Sandler berikut lelucon-lelucon khasnya. Dikatakan tipikal karena saat pertama bertemu Sandler pun kita melihatnya mengenakan celana pendek dan polo shirt. Bukankah di setiap filmnya itu seolah jadi "seragam" wajib Adam Sandler?
Maka, sekali lagi Pixels menjadi film Sandler yang berperan sebagai bocah-dewasa atau pria dewasa yang merasa dirinya kanak-kanak. Demikian yang kita lihat dari film-film Sandler dari era Happy Gilmore, The Waterboy, Big Daddy hingga ke Grown Ups dan sekuelnya.
Dari sini ada dua cara menikmati Pixels. Bagi penggemar Adam Sandler, film ini menawarkan segala hal yang mereka temukan di film-film komedian jebolan Saturday Night Live itu, yakni lelucon konyol, kekanak-kanakan, terkadang cenderung kasar (mengolok-olok Perdana Menteri Inggris atau pegawai Gedung Putih).
Lelucon khas Sandler ini mulai tidak bisa diterima oleh banyak pengamat film di luar sana. Bagi mereka, Sandler seakan tak pernah beranjak dari gaya komedi yang diusungnya sejak dulu. Di Hollywood sana, komedi konyol ala Judd Apatow atau Seth Rogen kini lebih disukai.
Namun demikian, Adam Sandler tetaplah Adam Sandler. Ia ogah berubah. Dan mungkin memang tak perlu. Ia yakin di luar sana masih banyak orang yang menyukai gayanya berkelakar. Ia pun tak butuh pujian dari kritikus film. Meski film-filmnya belakangan selalu dicerca toh ia terus dapat pekerjaan di Hollywood.
Jika Anda bukan penggemar lelucon Sandler, sebaiknya menikmati Pixels sebagai ajakan untuk bernostalgia dengan game tahun 1980-an. Anda bisa kesampingkan humor kasarnya, dan menikmati pamera efek visual keren. Film ini sungguh mengajak kita bernostalgia dengan game tahun 1980-an. Senang rasanya melihat Pac-Man bergerak memakan objek-objek di dunia nyata. Atau kita bisa berandai-andai mungkin seperti itu rasanya main bersama Donkey Kong.
Pada akhirnya, Pixels adalah penghormatan menyenangkan bagi game dingdong tahun 1980-an. Sambil menonton tribute itu, kita dapat bonus humor ala Adam Sandler. Mengasyikkan, bukan? (Ade/Feb)