Bos Adaro: Pembebasan Lahan PLTU Batang Tuntas 3 Bulan Lagi

Dari 226 hektare lahan yang dibutuhkan, tersisa 12 hektare yang belum dibebaskan.

oleh Mohamad Teguh diperbarui 31 Jul 2015, 15:14 WIB
Ilustrasi Garibaldi Thohir (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - PT Adaro Energy Tbk (ADRO) memperkirakan status tanah yang menghalangi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah, tuntas dalam dua-tiga bulan ke depan. Setelah beroperasi, pembangkit dengan total kapasitas 2x1.000 megawatt (MW) tersebut menjadi yang terbesar di kawasan ASEAN. 

"Pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat membantu untuk proses penyelesaian masalah ini karena ini adalah fasilitas umum yang terkait pemenuhan energi nasional," kata CEO Adaro Garibaldi Thohir dalam acara halalbihalal dengan pemimpin redaksi media massa nasional di Jakarta, Kamis (30/7/2015) malam.

Pria yang akrab disapa Boy Thohir itu menuturkan, pembebasan lahan seluas 226 hektare (ha) tersebut sudah dimulai dua-tiga tahun lalu. Namun, pembebasan lahan terkendala karena ada sekitar 12 ha yang masih belum dibebaskan.

"Status tanah yang clear sangat penting bagi kami. Karena ibaratnya kalau kita meminjam ke bank dengan jaminan STNK mobil kalau STNK belum ada, ya kita tidak bisa pinjam," terangnya.

Sebenarnya,  lanjut dia, jika pembebasan lahan bisa dipercepat maka kehadiran pembangkit listrik tersebut bisa membantu pemerintah dalam mengurangi beban listrik di wilayah Jawa Bali. Lalu apakah setelah dua-tiga bulan, proyek sudah bisa dibangun?

"Tentu ada tahapannya. Yang jelas bank harus dapat diyakinkan  bahwa tanah yang akan digunakan dan dijaminkan sudah clear," jawab dia.

Setelah beroperasi, PLTU Batang akan menjadi pembangkit terbesar di ASEAN

Proyek yang diperkirakan menelan investasi sebesar US$ 4 miliar atau setara Rp 53,9 triliun (kurs: Rp 13.488 per dolar AS) itu akan didanai Japan Bank for International Cooperation (JBIC).

"PLTU itu jika menggunakan mesin jepang, biaya yang akan dikeluarkan adalah US$ 2 juta per MW, memang lebih mahal dibandingkan buatan China yang harganya US$ 1,5 juta  per MW," ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Boy juga menghargai kebijakan pemerintah Jokowi yang melibatkan swasta dalam membangun proyek infrastruktur yang secara jangka panjang akan tingkatkan ekonomi indonesia.

Sekadar informasi, PLTU Batang merupakan proyek infrastruktur Public-Private Partnership (PPP) pertama di Indonesia, dan merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) karena akan menjadi penggerak pertumbuhan di koridor ekonomi Pulau Jawa.

Proyek ini digarap PT Bhimasena Power Indonesia, perusahaan konsorsium yang terdiri dari anak perusahaan Adaro Power (34 persen), Japan Electric Power Development Co (J-Power) (34 persen ) dan Itochu Corporation (32 persen).

Bhimasena telah menandatangani kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PLN dengan jangka waktu selama 25 tahun mulai dari operasi komersial yang ditargetkan pada akhir tahun 2016. Karena kondisi yang tidak jarang terjadi pada proyek berskala besar untuk jenis dan kaliber, proyek ini telah mengalami keterlambatan, terutama karena masalah yang terkait dengan pembebasan tanah.

Dengan kapasitas 2x1000MW, PLTU ini juga akan menjadi pembangkit pertama dan salah satu yang terbesar yang menggunakan teknologi boiler ultra-supercritical. Teknologi baja modern memungkinkan penggunaan boiler besar untuk membakar batubara dengan nilai kalori rendah sebagai bahan bakarnya.

Teknologi ini juga menawarkan peningkatan efisiensi yang melebihi rancangan boiler biasa dan mengurangi dampak lingkungan dari seluruh emisi, terutama karbondioksida. Boiler berkarakteristik ultra super-critical yang dimiliki pembangkit ini akan menjadi salah satu yang terbesar di Asia. (Mohamad Teguh/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya