Liputan6.com, Jakarta - Udara terasa berat dan gerah sore itu. ‘Hawa gempa’, begitu menurut para petani Jepang. Benar saja, lindu melanda tak lama kemudian. Tapi kekuatannya tak sampai bikin merinding. Negeri Sakura sering digoyang kekuatan alam.
Tapi, Hamaguchi Gohei merasa aneh. Itu bukan gempa biasa. Durasinya panjang, gerakan yang berdenyut membuat kepala pria itu puyeng bukan kepalang.
Dari balkon rumahnya yang terletak di atas bukit, mata Hamaguchi memandang ke arah kampung halamannya di Hiro-Mura, Semenanjung Kii.
Rumah-rumah memang sempat berderak dan bergoyang lembut, lalu diam dan kembali tegak. Namun, firasatnya mengatakan, hal buruk akan terjadi.
Lalu, ia pun bangkit dari duduknya, memandang ke arah laut yang seketika terlihat gelap gulita. Ombak bergerak terbalik, menjauhi bibir pantai. Segara yang surut membuat ikan-ikan menggelepar di atas pasir.
Penduduk desa juga menyaksikan fenomena itu. Ramai-ramai mereka berlarian menuju pantai, ke laut yang mendadak berubah jadi daratan.
Hamaguchi Gohei juga belum pernah melihat hal seperti itu terjadi. Entah mengapa, nasihat sang ayah langsung terngiang di telinganya: ‘jangan dekati laut yang surut, berlari menjauh menuju bukit’.
Hamaguchi sadar, malapetaka segera terjadi. Tak cukup waktu untuk memperingatkan penduduk desa atau meminta para biksu membunyikan lonceng keras-keras. Pengusaha itu memeras otak. Ia lalu ingat tumpukan padi di sawah. Hasil panen musim gugur yang memuaskan.
“Tada, cepat…cepat! Nyalalakan obor,” teriak Hamaguchi kepada cucunya yang berusia 10 tahun, seperti dikutip dari situs www.inamuranohi.jp.
Taimatsu -- obor dari kayu pinus -- ia sulut ke timbunan padi. Tumpukan sekam meledak jadi kobaran api, rabuk berterbangan liar, asap hitam membumbung tinggi membentuk cendawan.
Tada heran bercampur takut. Bocah itu menangis histeris. "Ojiisan! Ada apa? Ojiisan!,” teriaknya berkali-kali, menuntut jawaban. Tapi Hamaguchi diam. Tak ada waktu untuk memberi penjelasan.
Ojiisan berarti kakek. Penduduk desa juga memanggilnya dengan sebutan itu, tapi dengan alasan berbeda: Hamaguchi adalah orang paling kaya. Ia juga punya jabatan resmi, sebagai Choja atau tetua.
Pertanyaannya tak digubris, Tada pun berlari pulang. Kala itu dia yakin, kakeknya sudah gila.
Advertisement
Tsunami Menerjang
Melihat asap yang mengepul, penduduk bergegas naik ke bukit. Para pemuda dan remaja pria sampai lebih dulu, disusul perempuan, lansia, ibu-ibu yang menggendong bayinya, juga anak-anak. Wajah mereka diliputi heran. Matahari sedang mendekati cakrawala kala itu. Siap terbenam. Langit terlihat memerah dengan rona ganjil.
“Kakek jadi gila, aku takut,” kata Tada di tengah kerumunan, terisak. “Dia sengaja membakar lumbung padi: aku melihatnya sendiri.”
“Anak itu benar. Aku membakar padi-padi itu. Apakah semua orang ada di sini?,” jawab Hamaguchi. “
“Ya, semua ada di sini…lainnya segera sampai…Tapi, Choja, kami sama tak mengerti,” jawab perwakilan penduduk, memohon penjelasan.
Lalu, Hamaguchi menunjuk ke arah laut. Semua mata pun menoleh ke mana ujung jarinya mengarah. Warga desa menyaksikan ombak raksasa meluncur cepat. “Tsunami!,” suara teriakan orang-orang teredam gemuruh.
Gelombang gergasi menghantam bukit. Sampai lima kali. Cipratan air bercampur busa membumbung tinggi. Tak ada yang berkata-kata. Ngeri, takut, cemas... Mata-mata mereka menatap sedih ke bawah, ke rumah-rumah yang rata dengan tanah. Harta benda mereka musnah digulung bah.
Kemudian, suara Hamaguchi memecah keheningan. “Itu alasan mengapa aku membakar lumbung padi.” Hari itu ia menyelamatkan 400 nyawa.
Kepahlawanan Hamaguchi tertulis dalam kisah 'Inamura No Hi'. Yang diambil dari kisah nyata gempa bumi Ansei-Nankai, Jepang, pada 1854.
Saat kejadian, Hamaguchi baru 34 tahun.
Hamaguchi meninggal pada 21 April 1885 di New York, saat mewujudkan keinginannya berkelana ke Eropa dan Amerika Serikat. Dua bulan kemudian, sekitar 4.000 orang menghadiri upacara pemakaman yang digelar di desanya.
Hamaguchi Gohei sudah lama tiada, namun, kisahnya abadi. Menjadi inspirasi.
Lele 'Pemicu Gempa'
Gempa Ansei-Nankai yang terjadi pada 1854 memiliki kekuatan 8,4 skala Richter. Di Kyusu, ia menghabisi sekitar 10.000 nyawa.
Saat Hamaguchi menyelamatkan ratusan jiwa, orang-orang justru sibuk menyalahkan seekor lele raksasa. Namazu namanya. Demikian menurut Journal of Social History, seperti dikutip dari situs sains LiveScience.
Lele raksasa konon tinggal di perut bumi, tepat di bawah Jepang. Gerakan liar ikan berwarna hitam dan berkepala gepeng itu diyakini memicu guncangan hebat. Hanya Dewa Kashima yang bisa mengendalikan polahnya. Menggunakan batu besar yang diletakkan di kepala hewan itu. Mirip matador yang menunggang banteng.
Saat pengawasan Kashima lengah, Namazu menjadi liar. Gempa pun terjadi. "Selama Dewa Kashima beserta kita," demikian cuplikan kalimat dari buku puisi Jepang dari Abad ke-8, 'Manyoshu' seperti dikutip dari Japan Times. "Batu poros itu mungkin bergoyang, tapi ia tak akan hancur."
Setahun kemudian, gempa lain mengguncang.
Awalnya, penduduk Edo yakin, kota mereka kebal gempa. Belajar dari insiden lindu 1703, sumur-sumur dibangun di wilayah yang kini bernama Tokyo. Sebagai sumber air sekaligus ventilasi bagi energi bawah tanah. Jangan sampai kekuatan itu terkumpul makin besar dan menunggu saatnya meledak.
Juga agar kekuatan 'yang' yang panas tak terjebak di lingkungan sejuk 'yin' dan menimbulkan malapetaka.
Belakangan, keyakinan itu terbukti salah. Pada 11 November 1885, pukul 10.00 waktu setempat, tanah yang mereka injak berguncang hebat. Kekuatannya 'hanya' setara 7 skala Richter, namun akibatnya dahsyat.
Kota luluh lantak, 14 ribu bangunan hancur. Kebakaran terjadi di sana sini. Edo menjadi lautan api.
Aroma kematian bercampur dengan pekatnya asap. Tujuh ribu hingga 10 ribu manusia tewas. Kondisi mereka yang masih bernyawa pun tak lebih baik. Setiap hari terjadi 80 kali gempa susulan, yang baru reda setelah matahari terbit untuk kesembilan kalinya.
Mendadak, ikan lele bertebaran di kota. Bukan fisil, melainkan dalam bentuk gambar atau namazu-e.
"Dua hari setelah gempa, gambar-gambar ikan lele dijajakan di penjuru kota, " kata Greg Smits, ilmuwan Pennsylvania State University kepada Journal of Social History. Lebih dari 400 motif.
Bedanya, warga tak serta merta menuding lele raksasa itu sebagai sumber bencana. "Namazu-e menjadi semacam kode atau cara masyarakat mengekspresikan dirinya,” kata Smith.
Gambar namazu digunakan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa bakufu, pemerintah militer tak berdaya melawan kekuatan alam. “Kedigdayaan pemerintahan tiba-tiba dipertanyakan. "
Lele raksasa juga dianggap mewakili simbol lain.
Setelah gempa besar Tokyo 1855, namazu juga digambarkan sebagai Yonaoshi Daimyoujin, dewa yang memperbaiki kondisi dunia. Sebab, dengan gempa, ia telah mendistribusikan kekayaan dari yang kaya ke miskin.
Mengapa lele?
Di masa lalu warga Jepang memperhatikan tingkah sejumlah hewan, diyakini dengan cara itu mereka akan mengetahui kapan bumi akan bergoyang. Terutama lele.
Gagasan bahwa lele bisa memprediksi gempa bumi bahkan masih bertahan hingga kini di Jepang. Pemerintah bahwa mengucurkan anggaran penelitian soal lele pada 1993. Pasca-gempa 9 SR yang memicu tsunami di Negeri Sakura, surat kabar diwarnai spekulasi tentang kaitan ikan dan gempa.
Pelajaran Berharga
Gempa Kanto 1923, yang menewaskan 140 ribu orang di Tokyo, menjadi pelajaran berharga bagi Jepang. Kini, Negeri Sakura memiliki sistem peringatan dini paling baik di dunia.
Tak hanya itu, pelatihan bencana dilakukan secara serius. Sekitar 795.000 orang, termasuk perdana menteri, ikut dalam simulasi bencana yang dilakukan tiap 1 September -- hari di mana Gempa Kanto mengguncang.
Masyarakat Jepang sadar bencana. Di dekat pintu rumah, mereka mempersiapkan ransel yang berisi air botolan, makanan kering atau makanan kalengan, obat-obatan P3K, uang tunai, pakaian kering, radio, senter, dan beberapa baterai pengganti. Boleh juga ditambahkan suplemen, kacamata, obat-obatan khusus, atau makanan bayi dalam tas khusus mereka. Alat-alat penyelamatan gempa bahkan dijual di supermarket.
Pelatihan menghadapi bencana dilakukan secara rutin, bahkan dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah-sekolah dasar.
Kekayaan Jepang sebagian diinvestasikan untuk membangun gedung dan infrastruktur tahan gempa. Mahal memang, tapi menurut ahli, kebijakan ini terbukti telah menyelamatkan ribuan jiwa.
Dan ini yang tak kalah penting: “Kemungkinan kecil gedung sekolah atau rumah sakit rubuh saat gempa. Sebab, fasilitas publik dibangun tanpa ulah nakal dan korupsi para penyelenggara negaranya.”
Advertisement
Kisah Smong di Aceh
Smong dumek-dumek mo (tsunami itu air mandimu)
Linon uwak-uwak mo (aempa ayunanmu)
Elaik Keudang-keudang mo (petir kendang-kendangmu)
Kilek suluh-suluh mo (halilintar lampu-lampumu)
Angalinon ne mali (jika gempanya kuat)
Oek suruk sauli (disusul air yang surut)
Maheya mihawali (segeralah cari tempat)
Fano me tenggi (dataran tinggi agar selamat)
Masyarakat Simeulue tahu benar syair itu. Kearifan lokal dari nenek moyang yang terbukti menyelamatkan mereka dari maut. Menjadi jembatan informasi antar-generasi tentang bencana yang bahkan yang terdata para ilmuwan gempa.
Pada 26 Desember 2004 lalu Aceh dilanda gempa hebat. Ratusan ribu orang tewas di sejumlah negara karenanya. Namun, sebagian besar warga Simeulue selamat.
Berdasarkan penelitian geologi yang dilakukan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh bersama Earth Observatory Singapore (EOS), Aceh diperkirakan beberapa kali dihantam tsunami di antaranya pada 1394 dan 1450 Masehi.
Tsunami purba saat itu diperkirkan menjadi penyebab hilangnya Kerajaan Lamuri pada Abad ke-14, dan menenggelamkan pusat Kerajaan Indrapurwa di Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.
Setelah 1934 dan 1450, tsunami diperkirakan pernah melanda Pulau Simeulue pada 1907.
Sementara di kalangan masyarakat pesisir Aceh lainnya, tsunami merupakan istilah baru. Tsunami 2004 menjadi pelajaran pertama. Bencana itu juga menjadi pengingat, bahwa Nusantara rentan terhadap bencana. Terutama gempa.
Pelajaran mahal yang -- semoga -- tak mudah dilupakan. (Ein)