Liputan6.com, Colorado - Ashley Moser menunduk lesu dan mulai menangis di kursi rodanya, saat juri membacakan putusan sidang yang ia nanti-nantikan selama 3 tahun. Ia terkejut dengan hasil vonis dari para juri atas tindakan brutal James Holmes, yang mengakibatkan 14 orang tewas -- termasuk anak Ashley yang berusia 6 tahun sementara 70 orang lainnya terluka.
Ashley Moser adalah salah satu korban luka yang membuatnya cacat.
Advertisement
Begitu juga para korban lainnya yang menghadiri pembacaan hukuman sidang ini. Lonnie Philips, seperti digambarkan oleh Sabtu (8/8/2015), harus menenangkan istrinya. Pasangan suami istri ini kehilangan anak perempuannya, Jessica Ghawi, ketika tengah asyik menonton pemutaran perdana film Batman.
Juri pengadilan Colorado AS memutuskan tak bisa memberikan pasal hukuman mati, kepada James Holmes.
Pengacara Holmes bersikukuh mantan kandidat Phd Neuroscience di Universitas Colorado ini tidak normal kejiwaannya, saat melakukan tindakan brutal.
Juri pun 'terpaksa' setuju dengan pengacara Holmes, Tamara Brady bahwa kliennya menderita penyakit jiwa. Dalam argumen penutup, pengacara umum itu mengatakan bahwa kematian tidak bisa dijawab dengan kematian lagi. Sehingga Holmes wajib dihukum seumur hidup, agar kejadian ini menghantui sisa umurnya.
Tapi para penuntut umum dalam argumentasi penutupnya mengatakan, bahwa Holmes harus mati atas tindakan brutalnya. Sakit jiwanya tidak bisa dimaklumkan. Ia seharusnya divonis telah melakukan pembunuhan massal.
Sementara itu, para juri tidak bisa menjatuhkan pasal hukuman mati karena kondisi mental Holmes, tapi mereka senada dengan dengan jaksa penuntut bahwa pria yang kini berusia 24 tahun itu harus bertanggung jawab atas tindakannya.
Maka, juri pun menjatuhkan hukuman seumur hidup tanpa kesempatan banding untuk pembunuhan tingkat pertama yang Holmes lakukan.
"Aku sungguh frustrasi dengan hasil yang sama sekali tidak sesuai harapan. Percayalah, para juri itu telah bekerja seperti di neraka." kata jaksa penuntut George Brauchler kepada media yang menunggu di luar sidang, seperti dikutip dari CNN. Bagaimanapun, Brauchler menghormati keputusan juri, meski ia kecewa dengan hasilnya.
"Aku jelas kecewa dengan hasilnya, tapi saya tidak kecewa dengan sistem hukum yang kita miliki," tambahnya. Ia juga menyalahkan dirinya bahwa sebagai jaksa penutut, ia gagal memberikan hukuman mati kepada Holmes.
Para juri --9 orang perempuan dan 3 laki-laki-- mencapai keputusan setelah lebih dari 7 jam bekerja keras menentukan vonis kepada Holmes. Saat mereka kembali ke ruang sidang, raut muka mereka tampak menakutkan sekaligus pucat.
Pembacaan hukuman secara resmi akan dilakukan pada tanggal 24 hingga 26 Agustus.
Sosok Tertutup dan Kikuk
James Eagen Holmes terkenal pemalu dan pendiam sebelum ia melakukan tindakan brutal pada tanggal 20 Juli 2012.
Ia juga seorang jenius. Di usianya yang ke-23 tahun, ia menjadi kandidat Phd.
Sebagai bagian dari program doktoralnya, Holmes terdaftar sebagai penyaji makalah tentang mikro DNA yang berjudul "Biological Basis of Psychiatric and Neurological Disorders" pada Mei 2012 lalu. Meskipun, ia terancam drop out tanpa penjelasan lebih lanjut dari pihak universitas.
"Pada dasarnya ia memiliki sifat kikuk dan sedikit aneh, tapi bukan berarti ia boleh melakukan pembunuhan massal atas pribadinya itu," kata Billy Kromka, seorang peneliti yang pernah bekerja sama dengan Holmes seperti dikutip dari BBC.
Adapun di masa kecilnya, anak dari seorang suster bernama Arlene dan manajer sebuah perusahaan bernama Robert ini dikenal sebagai anak yang baik dan pemalu. Saat itu, dia suka menyendiri dan dijuluki kutu buku oleh teman-temannya. (Rie/Tnt)