Liputan6.com, Jakarta - Ada kain batik hijau tersampir tersampir di lehernya, di antara kemeja putih berbalut jas hitam yang dikenakan. Jokowi mendapatkan kain itu dari seorang kiai ketika menginjakkan kaki di Banten.
Seharusnya kain itu dibentuk seperti sorban dan diletakkan di kepala sang Presiden. Namun Jokowi tak sempat merapikannya. Hanya bisa menggantungnya di leher seperti mengenakan syal.
Advertisement
Sudah hampir 10 bulan dia menduduki kursi Presiden. Saat ini semua mata tengah menyorot kinerja pemerintahannya, jajaran menteri-menteri di Kabinet Kerja. Tak sedikit di antara para menteri itu yang dinilai kurang dan pantas dicopot.
Reshuffle. Jokowi dinilai harus segera melakukan pergantian jajaran menteri di kabinetnya. Setelah pasang surut wacana ini di masyarakat, kini reshuffle kembali jadi perbincangan. Salah satu pemicunya adalah laporan terkini mengenai pertumbuhan ekonomi di kuartal II yang hanya 4,67 persen.
Meski sang Presiden berulang kali menolak membicarakan masalah ini, sebagian orang percaya, pemilik nama Joko Widodo tersebut bakal melakukan reshuffle saat genap 1 tahun kepemimpinannya.
"Ya lebih cepat, lebih baik," kata politikus PDIP Andreas Pereira dalam diskusi 'Perombakan Kabinet Sudah Net' di Menteng, Jakarta, Sabtu (8/8/2015).
Buat Andreas, waktu terbaik untuk mengumumkan secara resmi reshuffle kabinet adalah saat pembacaan nota keuangan oleh Jokowi di gedung DPR pada 14 Agustus 2015.
"Kalau bisa setelah pidato (nota keuangan) untuk penyelenggaraan anggaran, agar menteri bisa mempersiapkan," ujar dia.
Dia menilai, selama 7 bulan terakhir, kinerja Kabinet Kerja dianggap kurang baik. "Yang mendesak perlunya reshuffle itu rakyat. Rakyat merasakan itu. Kita bertanggung jawab pada pemerintahan ini. PDIP yang usung Jokowi, sehingga kita ada tanggung jawab moral untuk beri masukan pas bagi pemerintahan ini," imbuh dia.
Menurut Andreas, perombakan kabinet bukanlah hal yang mengejutkan. Ia menjelaskan, saat awal menunjuk para menteri di awal pemerintahan, Jokowi juga telah memberi sinyal akan melakukan reshuffle bila kinerja kurang memuaskan.
"Perubahan kabinet itu sebenarnya sudah disampaikan Jokowi pada awal pemerintahan. Dia akan melakukan evaluasi, khususnya para pembantunya kurang lebih sebelum setahun," ujar Andreas.
Dia berharap Jokowi tak ragu untuk mengganti menteri yang menyalahi sistem birokrasi. Jangan sampai kedekatan hubungan dengan Presiden membuat sang menteri mengganggu sistem pemerintahan.
"Aktor yang kemudian mengganggu sistem itu potong. Siapa yang merasa dirinya memanfaatkan kedekatan dengan top leader yang kemudian merusak sistem, potong. Ke depan akan mengganggu," ucap Andreas.
Sementara itu Ketua DPP PAN Teguh Juwarno mengingatkan Jokowi agar berhati-hati dalam merombak kabinetnya. Bila salah mengganti menteri, malah bisa menjadi bumerang bagi Jokowi. Salah satu urgensi yang perlu disikapi Jokowi, menurut Teguh, adalah masalah ekonomi. Karena itu penting untuk mengevaluasi kembali kinerja menteri-menteri di bidang ekonomi.
"Berikan sinyal positif pada pasar dengan melakukan reshuffle. Dan Pak Jokowi, jangan bagi-bagi barang dan hadiah lagi. Ini bukan kampanye lagi," saran Teguh.
"Catatan kritis kita pada Presiden SBY dulu, walau dia memimpin dengan elegan, SBY itu dicap presiden ragu-ragu. Jokowi itu harus jadi presiden tegas," tambah Teguh.
Wacana reshuffle kabinet juga dinilai penting oleh mantan Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Tim Transisi Arif Satria. Dia khawatir reshuffle bakal terganjal oleh faktor kedekatan menteri dengan sang Presiden.
Arif menilai, Jokowi lebih dekat dengan jajaran menteri sektoral dibandingkan dengan menteri-menteri koordinator (menko). "Problemnya yang di bawah lebih kuat daripada menteri koordinatornya. Misal Menteri BUMN (Rini Soemarno) kuat mana sama Menko Perekonomian (Sofyan Djalil). Menteri Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti) dan Menko Maritim (Indroyono Soesilo) lebih kuat mana," kata Arif.
"Lalu Kepala Staf Presiden (Luhut Binsar Pandjaitan) lebih kuat daripada Menko Polhukam (Tedjo Edhy Purdjianto)," imbuh dia. "Sehingga perlu reshuffle supaya menko punya akses lebih kuat daripada menteri-menteri sektoralnya, dan menko harus punya hubungan yang dekat dengan Presiden."
Sementara itu salah satu yang disebut-sebut bakal diganti adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno. Dua nama dari TNI, Jenderal TNI Moeldoko dan mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Jenderal Purn TNI Marciano Norman, disebut-sebut layak menggantikan Tedjo.
Dosen Universitas Pertahanan (Unhan) Muhammad Dahrin La Ode menilai, dua nama itu berpeluang besar karena keduanya berlatar belakang Angkatan Darat (AD).
"People power kan semua berasal dari darat, tidak ada masyarakat dari laut dan udara," kata Dahrin pada 4 Agustus 2015. "Jadi dua orang ini memiliki kemampuan politik yang tinggi, punya kemampuan ideologi politik, memiliki kemampuan kerja yang cepat untuk hubungan politik luar negeri dan politik dalam negeri berkualitas tinggi," ujar dia.
Namun, menurut dia, dua nama itu kuat jika memang Tedjo benar akan ikut di-reshuffle. Apabila ternyata tidak, tak ada masalah. Ini karena kinerja menteri Tedjo dinilai cukup memuaskan.
"Tapi kalau presiden mau ganti di luar dua nama itu (Moeldoko dan Marciano), lebih bagus mempertahankan Tedjo."
Lalu apa kata Jokowi?
Berulang kali sang Presiden menolak berkomentar soal wacana reshuffle ini. Seperti saat dia tengah melakukan kunjungan kerja ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk meninjau pembangunan Bendungan Raknamo.
Saat itu Jokowi diberondong pertanyaan tentang reshuffle. "Kita lagi berbicara dan fokus soal bendungan, jadi masalah itu tidak ingin saya bahas," kata Jokowi pada 25 Juli 2015 lalu. (Ndy/Ado)