Liputan6.com, Jakarta - Pasal penghinaan terhadap presiden kembali diajukan ke DPR untuk masuk dalam Rancangan KUHP. Padahal, pasal itu telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY angkat bicara terkait pasal karet tersebut. Menurut dia, rakyat tak perlu melancarkan kritik berlebihan kepada presiden dan sebaliknya, presiden tak perlu bertindak represif.
Advertisement
"Prinsipnya, janganlah kita suka berkata & bertindak melampui batas. Hak & kebebasan ada batasnya. Kekuasaanpun juga ada batasnya. *SBY*," tulis SBY di akun twitter-nya @SBYudhoyono, Minggu (9/8/2015).
Di satu sisi, lanjut SBY, perkataan dan tindakan menghina, mencemarkan nama baik apalagi memfitnah orang lain, termasuk kepada Presiden itu tidak baik. Di sisi lain, penggunaan kekuasaan berlebihan untuk perkarakan orang yang dinilai menghina, termasuk oleh Presiden juga tidak baik.
"Penggunaan hak & kebebasan, tmsk menghina orang lain, ada pembatasannya. Pahami Universal Declaration of Human Rights & UUD 1945. *SBY*," imbuh dia.
SBY menyatakan, dalam demokrasi memang dibolehkan bebas bicara dan mengkritik termasuk kepada Presiden, tapi tak harus dengan menghina dan cemarkan nama baiknya. Sebaliknya, siapapun termasuk Presiden punya hak untuk menuntut seseorang yang menghina dan cemarkan nama baiknya, tapi janganlah berlebihan.
"Pasal penghinaan, pencemaran nama baik & tindakan tidak menyenangkan tetap ada "karetnya", artinya ada unsur subyektifitasnya. *SBY*."
SBY menuturkan, selama 10 tahun menjadi Presiden, ada ratusan perkataan dan tindakan yang menghina, tak menyenangkan dam mencemarkan nama baiknya.
"Foto resmi Presiden dibakar, diinjak2, mengarak kerbau yg pantatnya ditulisi "SBY" & kata2 kasar penuh hinaan di media & ruang publik. Kalau saya gunakan hak saya utk adukan ke polisi (karena delik aduan), mungkin ratusan orang sudah diperiksa & dijadikan tersangka. Barangkali saya juga justru tidak bisa bekerja, karena sibuk mengadu ke polisi. Konsentrasi saya akan terpecah *SBY*," papar SBY.
Andai itu terjadi, sambung dia, mungkin rakyat tak berani kritik, bicara keras, takut dipidanakan, dijadikan tersangka, dan presiden jadi tidak tahu apa pendapat rakyat. Kalau pemimpin tak tahu perasaan dan pendapat rakyat, apalagi media juga diam dan tak bersuara, maka bisa jadi bom waktu.
"Sekarang saya amati hal seperti itu hampir tak ada. Baik itu unjuk rasa disertai penghinaan kpd Presiden, maupun berita kasar di media. Ini pertanda baik. Perlakuan "negatif" berlebihan kpd saya dulu tak perlu dilakukan kpd Pak Jokowi. Biar beliau bisa bekerja dgn baik. *SBY*," ungkap SBY.
SBY pun mengimbau, agar rakyat harus belajar menggunakan kebebasan secara tepat, jangan melampaui batas. Ia mengingatkan, kebebasanpun bisa disalahgunakan.
"Ingat, liberty too can corrupt. Absolute liberty can corrupt absolutely. Saya pendukung demokrasi & kebebasan. Tetapi bukan anarki. Sebaliknya, pemegang kekuasaan jangan obral & salahgunakan kekuasaan. Kita sepakat, negara & penguasa tak represif & main tangkap. Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan tidak utk "menciduki" & menindas yg menentang penguasa. *SBY*," beber SBY.
"Para pemegang kekuasaan tak boleh salah gunakan kekuasaannya. Presiden, parlemen, penegak hukum, pers & juga rakyat. Kesimpulan: demokrasi & kebebasan penting, namun jangan lampaui batas. Demokrasi juga perlu tertib, tapi negara tak perlu represif. *SBY*," tutup SBY. (Mut)