Ambisi dan Tantangan Pasar Modal RI

Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung tertekan dengan turun 8,7 persen ke level 4.770.

oleh Agustina Melani diperbarui 10 Agu 2015, 08:15 WIB
Suasana aktivitas di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (22/10/2014) (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Industri pasar modal Indonesia merayakan diaktifkannya kembali pasar modal yang sudah berjalan selama 38 tahun. Perayaan kembali diaktifkannya pasar modal Indonesia pada Senin 10 Agustus 2015 ini berbeda dari tahun sebelumnya.

Kini otoritas bursa dipimpin oleh susunan direksi baru periode 2015-2018. Tito Sulistio resmi menjadi Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menggantikan Ito Warsito yang diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham pada Kamis 25 Juni 2015.

Saat pengangkatannya tersebut, Tito mengatakan sejumlah ambisi untuk membawa pasar modal Indonesia menjadi lebih baik ke depan. Ia mengharapkan pasar modal Indonesia dapat mengalahkan bursa saham Thailand terutama soal transaksi harian saham. Saat ini rata-rata transaksi harian saham di BEI pada 2015 sekitar Rp 6,03 triliun.

Untuk mencapai target itu, Tito menuturkan, pihaknya ingin meningkatkan kepercayaan investor di pasar modal, mendorong emiten berkualitas untuk masuk ke pasar modal Indonesia, dan menjadikan bursa saham lebih efisien.

Gebrakannya memang cukup cepat. Otoritas bursa menaikkan jumlah dana perlindungan investor dari Rp 25 juta menjadi Rp 100 juta. Ketua Komite Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Susy Meilina menuturkan, kenaikan dana perlindungan investor itu positif untuk pasar modal Indonesia sehingga mendorong kepercayaan investor berinvestasi di pasar modal. 

"Adanya moral hazard dilakukan satu dua orang di pasar modal pengaruhi industri. Karena itu, dengan ada kartu AKSES, ada dana perlindungan investor membuat kepercayaan investor di pasar modal," ujar Susy saat dihubungi Liputan6.com, Senin (10/8/2015).

Ia menambahkan, jumlah investor saat ini memang masih berkutat di angka 400 ribu. Padahal jumlah investor ritel terutama lokal mesti diperbanyak untuk menjaga pasar modal Indonesia. Jumlah investor pasar modal Indonesia masih minim memang selalu menjadi masalah klasik. Otoritas bursa pun gencar melakukan sosialisasi dan edukasi soal pasar modal. Bahkan menggelar program edukasi Gerakan Cinta Pasar Modal Indonesia pada tahun lalu.

Tak hanya meningkatkan jumlah investor, otoritas bursa juga perlu bersiap-siap hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Susy mengatakan, regulator dan otoritas bursa juga mesti melindungi para pelaku pasar modal termasuk perusahaan sekuritas untuk hadapi MEA di depan mata. Dengan ada MEA akan membuat sejumlah perusahaan sekuritas asing dapat mudah menawarkan produk di Indonesia, dan mendorong perusahaan Indonesia untuk mencatatkan saham di pasar modal negara lain.

"Pasar modal Indonesia seharusnya dapat perlindungan dari regulator. Perusahaan asing akan sangat agresif saat MEA untuk masuk ke pasar Indonesia apalagi pasarnya besar. Saat MEA perusahaan asing dapat sosialisasikan emiten listing di negara lain. Karena itu perlu ada azas resiprokal," kata Susy.

Di tengah tantangan dan ambisi tersebut, saat perayaan diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia, kondisi kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung tertekan. Kinerja IHSG minus 8,74 persen secara year to date menjadi 4.770,30 pada penutupan perdagangan saham Jumat 7 Agustus 2015. Posisi kinerja IHSG pun berada di urutan ke 13 dari indeks saham acuan global. Posisi Indonesia di bawah Singapura, yang indeks sahamnya turun 5,01 persen.

Tak hanya kinerja IHSG turun, total aliran dana investor asing pun cenderung keluar dari pasar modal Indonesia. Secara year to date, aliran dana investor asing tinggal Rp 2,96 triliun pada Jumat pekan lalu. Padahal pada 2014, aliran dana investor asing sempat mencapai Rp 57 triliun. Kapitalisasi pasar saham BEI pun turun menjadi Rp 4.932 triliun pada Jumat 7 Agustus 2015 ketimbang Januari 2015 di kisaran Rp 5.287 triliun.

"Kinerja IHSG turun tidak terlepas dari hasil kinerja emiten tidak terlalu bagus. Hal itu lantaran pertumbuhan ekonomi melambat. Karena itu, pemerintah dapat memperbaiki fundamental ekonomi dulu. Memang perlu banyak pembenahan," kata Susy. (Ahm/Gdn)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya