Liputan6.com, Jakarta - Kekeringan melanda sejumlah daerah selama musim kemarau ini. Air menjadi barang langka.
Warga harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli galon-galon air bersih. Sementara mereka yang tak seberuntung itu harus berjalan jauh mendaki bukit demi mendapatkan "cairan kehidupan" tersebut.
Advertisement
Sementara hujan tak juga kunjung membasahi Bumi Nusantara. Padi-padi di sawah yang sudah sangat "kehausan" mati tanpa bisa dipanen.
Perjuangan musim kemarau tak berhenti di situ. Di Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah, monyet-monyet yang kelaparan keluar dari sarangnya untuk mencari makanan.
Hutan tempat tinggal mereka diduga tak lagi bisa menyediakan makan bagi hewan primata tersebut setelah kekeringan melanda. Berikut sederet cerita di balik kekeringan Tanah Air yang dihimpun Liputan6.com, Selasa (11/2015):
Mendaki Bukit Ponorogo
Sudah hampir sebulan Aninda dan adiknya, warga Desa Mrican, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur harus bolak-balik mendaki bukit untuk mengambil air bersih setelah desanya dilanda kekeringan.
Jarak 3 kilometer pun harus mereka tempuh. Sungai yang menjadi satu-satunya sumber mata air bagi warga di Desa Mrican airnya sudah mulai mengering. Saking keringnya, dasar sungai bahkan sudah terlihat.
Selain di Desa Mrican, ada 3 kecamatan lain di Kabupaten Ponorogo yang mengalami krisis air. Yaitu kecamatan Slahung, Jenangan, dan Mlarak. Pemerintah setempat tak juga memberikan bantuan air bersih.
Krisis air bersih juga terjadi di Desa Arosbaya, Bangkalan, Jawa Timur. Hanya tinggal beberapa sumur warga yang masih mengeluarkan air. Itu pun airnya sudah mulai surut dan keruh.
Untuk mendapatkan air jernih, warga harus mengendapkan hingga 3 jam. Sumur di tengah ladang itu biasanya dipakai untuk menyiram tanaman atau memberi minum ternak. Namun kini air sumur ini digunakan warga Desa Arosbaya, untuk minum dan memasak.
Krisis air bersih di desa ini sudah berlangsung 3 bulan. Namun selama itu pula pemerintah setempat belum pernah mengirimkan bantuan bagi warga. Entah sampai kapan.
Advertisement
Ladang Jagung Orang Rimba
Sejumlah lahan pertanian terancam gagal panen akibat kekeringan. Tak terkecuali 20 hektare ladang jagung milik Orang Rimba Jambi atau biasa di sebut Suku Anak Dalam (SAD) yang mendiami kawasan Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
"Awalnya jagung yang kami tanam tumbuh subur, namun karena kemarau kini banyak yang menguning, bahkan sudah ada yang mati," ujar pimpinan SAD Muara Kilis, Temenggung Tupang Besak, kepada Liputan6.com di Jambi, Senin 10 Agustus 2015.
Menurut sang Tumenggung, jika dalam beberapa pekan ke depan tak kunjung hujan, bisa dipastikan ladang jagung milik warga SAD bakal mati dan gagal panen.
Dan jika hal itu terjadi, para Orang Rimba Jambi ini diprediksi bakal mengalami kerugian sekitar Rp 15 juta. Meski tidak besar, dikhawatirkan kondisi tersebut berdampak pada psikologis mereka.
Seperti yang diungkapkan petugas pendamping SAD Muara Kilis, Oktaviandi Mukhlis.
"Kerugian diperkirakan sekitar Rp 15 juta. Memang tidak banyak, tapi yang dikhawatirkan kegagalan ini berdampak pada psikologis warga SAD. Karena mereka tengah semangat-semangatnya bercocok tanam," pungkas Mukhlis.
Diserbu Monyet
Ratusan ekor monyet yang keluar hutan dan memasuki permukiman penduduk sukses membuat warga Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah resah.
Tanaman pertanian menjadi sasaran pertama monyet-monyet ini. Tidak hanya itu, primata ini juga masuk ke rumah-rumah warga. Bahkan juga menyerbu warung untuk mencari makanan.
Warga memperkirakan monyet-monyet turun dari bukit di sekitar desa mereka. Satwa ini memasuki permukiman warga sejak kekeringan melanda wilayah Banyumas.
Diduga tanaman dan buah-buahan yang menjadi makanan alami monyet-monyet itu mati sehingga mereka kehilangan sumber makanan. Meski dibuat resah, warga tidak melakukan penangkapan ataupun membunuh mereka.
Advertisement
Dari Padi Jadi Pasir
Di Temanggung, Jawa Tengah, pasir menjadi pilihan bagi sejumlah petani yang tidak bisa menggarap sawah mereka akibat kemarau. Para petani yang tinggal di Desa Jubuk, Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah itu untuk sementara beralih profesi sebagai penggali pasir di sepanjang Sungai Galeh demi mempertahankan hidup.
Sungai Galeh yang mulai surut membuat mereka mudah mencari pasir. Setelah terkumpul, hasil galian pasir tersebut akan dijual kepada pembeli yang membutuhkan.
Selain mencari pasir, ada juga yang menjadi pencari batu di dasar sungai. Menurut mereka, selama kemarau harga batu justru meningkat.
Para pencari pasir dan batu diperkirakan bisa mendapat uang Rp 100-200 ribu per harinya. Dan hasil tersebut menjadi penyambung hidup mereka di kala musim kemarau panjang.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan, musim kemarau di Indonesia akan berlangsung hingga akhir November 2015. Puncak kemarau akan terjadi sepanjang Oktober-November 2015.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, hal ini dikarenakan El Nino Moderate di bagian selatan khatulistiwa menguat. Kondisi ini akan berimbas pada tingkat intensitas dan frekuensi curah hujan yang semakin berkurang.
Bahkan kemungkinan awal musim penghujan 2015/2016 di beberapa wilayah akan mengalami kemunduran. (Ndy/Mut)