Investor Asing Lepas Saham, IHSG Melemah 101 Poin

Pelaku pasar khawatir terhadap ekonomi China melambat telah menekan IHSG pada sesi pertama perdagangan saham.

oleh Agustina Melani diperbarui 11 Agu 2015, 12:20 WIB
Papan harga saham terpampang di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis, (30/7/2015). Setelah terus melemah, IHSG akhirnya menguat 29,82 poin atau 0,61 persen) ke level 4.750,31. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak mampu bertahan di zona hijau pada sesi pertama perdagangan saham Selasa pekan ini. Sentimen rilis data ekonomi China melambat ditambah nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menekan laju IHSG.

Pada penutupan perdagangan saham sesi pertama Selasa (11/8/2015), IHSG melemah 101,99 poin (2,15 persen) ke level 4.646,95. Level itu terendah pada 2015. Indeks saham LQ45 tergelincir 2,74 persen ke level 785,81. Sejumlah indeks saham acuan kompak melemah pada sesi pertama hari ini. Padahal saat pra pembukaan perdagangan saham, IHSG dibuka naik 14 poin mengikuti bursa saham global.

Ada sebanyak 214 saham melemah sehingga menyeret IHSG ke zona merah. Akan tetapi, 52 saham menghijau dan 76 saham diam di tempat. Di sesi pertama hari ini, IHSG sempat sentuh level tertinggi 4.771,72 dan terendah 4.635,07.

Total frekuensi perdagangan saham sekitar 118.417 kali dengan volume perdagangan saham 2,96 miliar saham. Nilai transaksi harian saham sekitar Rp 2,07 triliun. Secara sektoral, sepuluh sektor saham juga tertekan sehingga membuat IHSG turun tajam.

Sektor saham industri dasar turun 4,53 persen, sehingga memimpin penurunan indeks saham. Kemudian sektor saham aneka industri tergelincir 2,7 persen, dan sektor saham keuangan melemah 2,5 persen.

Berdasarkan data RTI, investor asing melanjutkan aksi jualnya. Investor asing melakukan aksi jual sekitar Rp 137 miliar. Sedangkan pemodal lokal melakukan aksi beli bersih sekitar Rp 200 miliar.

Saham-saham yang masih bisa menguat pada sesi pertama antara lain saham SMSM naik 4,53 persen ke level Rp 4.850 per saham, saham HOME mendaki 2,79 persen ke level Rp 221 per saham, dan saham EMDE naik 7,41 persen menjadi Rp 174 per saham.

Saham-saham berkapitalisasi besar cenderung tertekan pada hari ini. Saham BBNI turun 5,52 persen ke level Rp 4.620, saham BBRI tergelincir 3,31 persen ke level Rp 10.225 per saham, dan saham BMRI melemah 3,15 persen ke level Rp 9.225 per saham.

Analis PT Investa Saran Mandiri, Hans Kwee menuturkan penurunan IHSG tersebut terendah pada 2015. Ada sejumlah sentimen yang menekan laju IHSG. Pertama, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Kedua, rilis data ekonomi China terbaru menunjukkan ekonomi China melambat.

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di posisi 13.541 per dolar AS pada Selasa 11 Agustus 2015 dari periode 10 Agustus 2015 di level 13.536 per dolar AS.

"Pelemahan nilai tukar rupiah jadi penekan IHSG. Itu ditambah data yang keluar dari China memberikan indikasi perlambatan ekonomi negara itu berlanjut. Ada ekspor impor turun, dan tingkat produsen China melemah," kata Hans, saat dihubungi Liputan6.com.

Selain itu, China melakukan devaluasi mata uangnya juga menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Hal itu mengingat dapat menekan ekspor dan menaikkan impor.

Hans menilai, IHSG seharusnya turun pada perdagangan saham kemarin, akan tetapi kelihatannya ditahan. Meski demikian, menurut Hans, tidak ada kepanikan di pasar saham. "Transaksi perdagangan saham memang sepi. Pasarnya jadi kalau ada yang jual langsung turun," tutur Hans.

Hans pun merekomendasikan pelaku pasar menunggu hingga pasar saham stabil. Kemudian pelaku pasar dapat melakukan akumulasi beli.

Data ekonomi China menunjukkan kalau ekspor China turun 8,3 persen pada Juli, dan angka ini terbesar dalam empat bulan. Hal itu juga jauh lebih buruk dari apa yang diperkirakan ekonomi. Selain itu, harga produsen turun menjadi 5,4 persen sehingga mendorong harga grosir sentuh level terendah sejak akhir 2009.

Dari Amerika Serikat (AS), pelaku pasar berspekulasi kalau bank sentral AS/The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga pada September. Hal itu juga membuat sebagian mata uang negara berkembang tertekan. Prospek suku bunga AS lebih tinggi membuat dolar AS menarik bagi investor. Hal itu juga membuat permintaan komoditas berkurang.

Spekulasi kenaikan suku bunga AS itu bertambah mengingat data Departemen Tenaga Kerja menunjukkan kalau data tenaga kerja tambah 215 ribu pekerjaan pada Juli. Tingkat pengangguran bertahan di level terendah dalam tujuh tahun mencapai 5,3 persen. (Ahm/Gdn)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya