Liputan6.com, Jakarta - Harga daging sapi di pasar tradisional Jabodetabek yang mencapai Rp 140 ribu per kilo gram (Kg) memicu aksi protes para pedagang. Buntutnya, sejak Minggu 9 Agustus hingga Rabu 12 Agustus 2015 para pedagang daging melakukan aksi mogok berjualan.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan pemerintah harus segera menelusuri lonjakan harga daging sapi yang ini. Lantaran harga daging sapi tinggi tersebut bisa saja disebabkan oleh aksi oknum pedagang besar dan importir yang selama ini mengendalikan harga.
Advertisement
"Gonjang-ganjing harga daging sapi, patut diduga dengan kuat karena ulah pedagang besar dan importir, agar pemerintah menambah kuota impor sapi," ujar Tulus di Jakarta, Selasa (11/8/2015).
Menurut dia, kenaikan harga ini bisa saja disebabkan aksi oknum pedagang besar dan importir yang sengaja menahan stok sapi dan daging yang bisa distribusikan ke pasaran dengan tujuan-tujuan tertentu.
"Bahkan sengaja menimbunnya. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap pedagang besar dan importir, yang patut diduga memainkan harga dan pasokan daging sapi," kata dia.
Terlebih lagi, lanjut Tulus, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan harga daging di tingkat peternak atau penggemuk (feetlotter) hanya sebesar Rp 40 ribu ribu per kg. Namun begitu sampai ke tangan konsumen sebesar Rp 90 ribu dalam keadaan normal bahkan saat ini mencapai Rp 140 ribu per kg.
"Pemerintah harus membongkar penggelembungan harga daging sapi impor, yang kata Mentan harga asalnya hanya Rp 35 ribu-Rp 40 ribu per kg. Kenapa harga ditangan konsumen (dalam kondisi normal), mencapai Rp 80 ribu-90 ribu per kg? Ini jelas ada supplay chain yang tidak beres," tegas dia.
Solusi ke depannya agar hal-hal seperti ini tidak kembali terulang yaitu Indonesia harus terbebas dari impor sapi dan daging. Menurut Tulus, pemerintah harus memberdayakan para peternak lokal agar mampu menyediakan daging untuk kebutuhan nasional.
"Peternak sapi lokal harus diberikan berbagai insentif atau subsidi, agar lebih produktif. Sehingga kita tidak perlu impor dan mampu berdaulat daging sapi. Tanpa subsidi dan insentif pada peternak sapi lokal, maka kita akan terus bergantung pada daging sapi impor," kata Tulus. (Dny/Ahm)