Liputan6.com, Jakarta “Mereka terlalu asyik dengan dirinya”. “Mereka tidak mau mendengarkan kami”. Demikianlah keluhan yang banyak diungkapkan oleh orangtua yang memiliki anak terutama yang sudah menginjak usia remaja. Bagi banyak orangtua, anak-anak remaja mereka yang sering disebut sebagai ABG (Anak Baru Gedhe) seringkali tampak menjadi sosok yang aneh bahkan asing dalam keluarga. Mereka sibuk dengan dunianya, tenggelam dalam keasyikannya bersama teman-temannya, marah-marah atau senyum-senyum sendiri dengan gadget di tangan, dan tidak lagi terhubung dengan dunia di sekitarnya. Usaha orangtua untuk masuk dan mengajak mereka berkomunikasi seringkali tidak mendapat tanggapan yang menggembirakan bahkan dianggap sebagai gangguan.
Hal ini tentu saja menjadi masalah bagi orangtua. Ketiadaan komunikasi yang baik antara orangtua dan anak pertama-tama akan berpotensi membawa perasaan gagal sebagai orangtua. Perasaan ini membayangi orangtua ketika mereka melihat anak-anak mereka tumbuh dan menjadi besar tanpa merasa ikut terlibat aktif di dalam perkembangannya. Perasaan gagal ini juga akan membawa pada perasaan bersalah dan lebih jauh lagi krisis eksistensi sebagai orangtua. Krisis eksistensi ini berdampak pada berbagai masalah baik masalah fisik, psikologis, maupun sosial.
Advertisement
Merujuk sumber luar
Merujuk sumber luar
Masalah kemudian menjadi lebih mendesak ketika anak-anak ini tetap mengabaikan komunikasi saat mereka kemudian berhadapan dengan berbagai masalah dalam hidupnya. Daripada membicarakannya dengan orangtua, mereka memilih untuk mencari cara menghadapi masalahnya sendiri atau merujuk pada sumber-sumber di luar keluarga yang bisa saja merupakan sumber yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Hasilnya adalah kekagetan orangtua saat anaknya tiba-tiba telah jatuh dalam masalah yang sudah berat tingkatnya.
Untuk mengantisipasi hal ini, orangtua perlu memberi perhatian pada anak-anak mereka semenjak dini. Hal ini semakin tidak mudah, di tengah gempuran arus konsumerisme alat-alat komunikasi digital. Ancamannya sebenarnya tidak hanya pada anak saja namun pertama-tama justru pada orangtuanya. Orangtualah yang pertama-tama perlu menunjukkan bahwa mereka bukan konsumen yang tidak mampu mengendalikan penggunaan terhadap alat-alat semacam itu. Hal ini selain penting untuk tujuan membangun komunikasi dengan anak sebenarnya juga memiliki arti penting untuk orangtua sendiri. Terbebasnya orangtua dari jerat konsumerisme penggunaan alat-alat komunikasi digital akan membawa mereka pada perkembangan pribadi yang lebih sehat dan berkualitas.
Secara praktis, orangtua dapat mengurangi kecenderungan konsumerisme itu dengan cara membatasi penggunaan alat-alat tersebut. Jangan sampai alat-alat tersebut mengendalikan kita dengan nada panggil dan notifikasinya yang memaksa kita untuk meresponnya sesegera mungkin. Saat kita menggunakan waktu untuk memberi respon, waktu kita menjadi berkurang. Berkurangnya waktu tersebut sangat merugikan karena bisa saja terjadi saat kita sedang berbicara dan bersendau gurau dengan anak, saat kita makan bersama keluarga, dan sebagainya. Akibatnya keluarga termasuk anak-anak kita tidak akan menempati urutan prioritas dalam hidup. Jika demikan, tidak dapat disalahkan jika kemudian anak-anak juga tidak menempatkan orangtuanya di tempat yang perlu diprioritaskan.
Advertisement
Terbuka peluang
Terbuka peluang
Setelah orangtua mampu membebaskan dirinya, akan terbukalah peluang membangun komunikasi dengan anak. Pertama karena anak melihat model orangtuanya sebagai pribadi penting dalam hidupnya yang ternyata mampu menunjukkan kekuatannya dalam mengendalikan bukan justru dikendalikan. Selanjutnya orangtua juga akan mampu menyediakan waktu dan perhatian bagi anak-anaknya dalam membangun relasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menyediakan waktu dan perhatian yang memadai dalam membangun relasi dan komunikasi dengan anak, orangtua juga perlu memperhatikan kualitas relasi dan komunikasi yang dibangunnya tersebut. Relasi dan komunikasi yang dibangun semestinya bukanlah relasi dan komunikasi yang menakutkan. Orangtua perlu untuk berperan sebagai teman yang mampu mendengarkan tanpa dengan mudahnya menilai atau bahkan menyalahkan sudut pandang anak. Ini bukan berarti sudut pandang anak tidak bisa keliru.
Yang penting adalah bagaimana orangtua mampu menunjukkan kesalahan pada anak tanpa menjatuhkan harga dirinya. Kesalahan haruslah diperbaiki di masa depan bukannya menjadi sarana menumbuhkan rasa bersalah anak secara terus menerus. Hal ini tidak mudah karena menunjukkan kesalahan anak dan membuatnya bersalah seringkali memuaskan kebutuhan diri orangtuanya akan pengakuan sebagai orang yang lebih atau selalu benar.
Dalam relasi dan komunikasi dengan anak, orangtua bisa saja berbuat salah. Jika ini terjadi, didasarkan pada kesetaraan relasi dan komunikasi, orangtua tidak perlu malu untuk minta maaf dan memperbaiki kesalahannya tersebut. Lewat kesediaan orangtua menyediakan waktu sebagai teman dan bukan sebagai penilai dalam relasi dengan anak, anak akan menemukan sosok yang dapat membuatnya nyaman untuk terbuka dalam banyak hal termasuk kelemahan dan kesalahan yang mungkin mereka buat. Dengan cara ini, orangtua tidak akan “kehilangan” anak-anak mereka karena kalah bersaing dengan gagdet dan semacamnya. Mereka akan tetap menemani anak-anaknya secara akrab dalam relasi dan komunikasi yang penuh keterbukaan sepanjang kehidupan sang anak.
Y. Heri Widodo, M.Psi., Psikolog
Dosen Universitas Sanata Dharma dan Pemilik PAUD Kerang Mutiara, Yogyakarta