Bursa Asia Kembali Terkapar Meski Data Penjualan Ritel AS Membaik

Indeks MSCI Asia pasifik turun kurang dari 0,1 persen menjadi 138,35 pada pukul 09.08 waktu Tokyo, Jepang.

oleh Arthur Gideon diperbarui 14 Agu 2015, 08:41 WIB
(Foto: Reuters)

Liputan6.com, Sydney - Saham-saham di kawasan Asia Pasifik (Bursa Asia) menuju penurunan mingguan keempat pada pembukaan perdagangan Jumat (14/8/2015). Pendorong penurunan Bursa Asia masih mengenai dampak devaluasi mata uang Yuan China dan estimasi mengenai kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.

Mengutip Bloomberg, Jumat (14/8/2015), Indeks MSCI Asia pasifik turun kurang dari 0,1 persen menjadi 138,35 pada pukul 09.08 waktu Tokyo, Jepang. Dengan penurunan ini maka Indeks MSCI Asia Pasifik menuju penurunan sebesar 1,9 persen sepanjang pekan ini.

Indeks Topix Jepang turun 0,2 persen, Indeks S&P/ASX 200 Australia naik kurang dari 0,1 persen. Indeks NZX 50 Selandia Baru naik 0,3 persen. Pasar Hong Kong dan China belum dibuka.

Bursa saham di seluruh dunia memberikan sentimen negatif ketika otoritas China tiba-tiba mendevaluasi mata uangnya. Bank Sentral China sendiri mengungkapkan bahwa devaluasi tersebut untuk mendukung kestabilan yuan.

Namun sentimen negatif tersebut pada pembukaan hari ini sedikit berkurang dengan keluarnya data mengenai penjualan ritel di Amerika Serikat yang menunjukkan adanya kenaikan.

Dengan data ekonomi yang bagus tersebut, ekspektasi akan kenaikan suku bunga yang akan dilakukan oleh The Fed kemungkinan akan berlangsung pada bulan depan atau September 2015.

"Sepertinya kekhawatiran yuan telah menghilang dan bursa telah rebound. Namun memang, sentimen tersebut kemungkinan hanya jangka pendek," jelas analis AMP Capital Investors Ltd, Sydney, Australia, Nader Naeimi.

Ia melanjutkan, sulit untuk membayangkan keuntungan yang berkelanjutan mengingat prospek The Fed akan menaikkan suku bunga bulan depan.

Untuk diketahui, mata uang China turun ke level terendah dalam empat tahun terakhir pada perdagangan tiga hari terakhir. "Kelemahan di China terus terjadi dan memberikan tekanan kepada bursa saham," jelas analis Barclays.

Sebagian besar pelaku pasar belum ingin mengambil risiko yang terlalu besar dan lebih memilih untuk melihat apa yang akan terjadi di China. (Gdn/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya