Liputan6.com, Jakarta - Hari yang bersejarah itu akhirnya tiba. Jumat 17 Agustus 1945 pukul 08.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat. Pagi itu Sukarno masih tertidur di ranjangnya, sementara di luar rumah kesibukan sudah terlihat.
Wakil Walikota Soewirjo meminta Wilopo mempersiapkan mikrofon dan pengeras suara. Sementara Sudiro memerintahkan S. Suhud mempersiapkan tiang bendera. Suhud menemukan bambu di belakang rumah Sukarno, membersihkannya, diberi tali, dan ditanam beberapa langkah dari teras rumah. Ia tidak tahu bahwa di depan rumah Sukarno sebenarnya ada 2 tiang bendera dari besi.
Bendera merah putih yang dijahit oleh istri Sukarno, Fatmawati, juga sudah disiapkan. Namun, persiapan hanya sebatas itu.
Tempat ini menjadi lokasi pembacaan teks Proklamasi setelah disepakati usai perumusan naskah Proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Sempat terjadi perdebatan pada Jumat pagi itu sebelum akhirnya para tokoh bersepakat.
Awalnya Sukarni mengatakan bahwa warga Jakarta dan sekitarnya telah diserukan datang ke lapangan Ikada pada 17 Agustus pagi untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Lapangan itu terletak di kawasan Gambir, kini menjadi bagian dari lingkungan Monas.
Namun ide Sukarni ditolak Sukarno. "Lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang,” ujar dia.
"Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden? Lapangan Ikada adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah paham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi," tegas Sukarno.
Tak Puasa karena Malaria
Namun, Sukarno sendiri belum terlihat keluar dari kediamannya untuk menyambut hari besar itu. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah mengatakan, saat itu kondisi fisik Sukarno memang tidak sehat. 2 jam sebelum pembacaan teks Proklamasi, suhu badannya masih tinggi.
Selain memang mengidap malaria, kelelahan juga menyerang setelah beraktivitas tiada henti sejak dari Rengasdengklok hingga begadang semalaman merumuskan naskah proklamasi di kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta.
"Badanku menggigil dari kepala sampai ke kaki. Suhu tubuhku naik sampai 40 derajat. Meski sakitku sangat parah, aku tak dapat dapat pergi tidur begitu sampai di rumah. Aku langsung ke meja tulisku dan duduk di sana selama berjam-jam," kata Sukarno dalam autobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat.
Tak lama kemudian Soeharto tiba di kediaman Soekarno. Dokter pribadi Bung Karno itu memberanikan diri masuk ke kamar Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tersebut. Soeharto pun membangunkannya. "Pating greges (badannya demam)," kata Sukarno saat bangun seperti ditulis Ahmad Mansur.
Mengetahui suhu badan Bung Karno tinggi, Soeharto atas persetujuan yang bersangkutan menyuntikkan cairan chinine-urethan intramusculair. Sukarno juga meminum broom-chinine pemberian Soeharto. Dengan begitu, pada hari ke-8 Ramadan tersebut, Bung Karno tak berpuasa.
Ternyata, obat yang diberikan Soeharto manjur. Pukul 09.30 WIB atau 30 menit sebelum pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno bangun dari tidurnya dengan panas di badannya yang sudah turun. Kendati sudah sembuh, Sukarno menolak membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta.
Sesaat sebelum acara dimulai, Hatta pun datang dengan setelan putih-putih dan menjemput Sukarno di kamarnya. Sukarno pun bangkit dari tempat tidur, juga mengenakan setelan putih-putih juga. Didampingi Fatmawati, keduanya lalu menuju teras rumah.
Di teras rumah, sejumlah tokoh sudah menunggu. Terlihat antara lain Ahmad Subardjo, Soewirjo, Soekarni, Soejono, Latuharhary, SK Trimurti, dan AG Pringgodigdo.
Massa telah mulai berkumpul sejak pukul 07.00. Mereka datang dengan membawa bambu runcing, sekop, tongkat, golok, dan berbagai senjata lain. "Pesan sudah tersebar bahwa Bung Karno akan menyatakan kemerdekaan. Kita harus melindungi Bung Karno. Petani, pedagang kelontong, nelayan, pegawai negeri, anak-anak muda, dan orang tua, semua mengalir ke Pegangsaan Timur 56," lanjut Sukarno dalam Penyambung Lidah Rakyat.
Advertisement
Sejarah Terpahat di Pegangsaan
Sekitar pukul 10.00 WIB, Bung Karno mulai berpidato di hadapan massa yang berkumpul di depan rumahnya.
“Saudara-saudara sekalian, saya telah meminta Saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita, bangsa Indonesia telah berjuang, untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan, telah beratus-ratus tahun.
Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya, ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti.
Di zaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kekuatannya.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seiya sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkanlah Proklamasi Kami.
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta 17-8-45
Atas nama bangsa Indonesia
Sukarno-Hatta
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa lain. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara Merdeka! Negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu," tutur Sukarno.
Setelah pembacaan teks proklamasi, upacara dilanjutkan dengan pengibaran bendera. Pada awalnya SK Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit.
Karena itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati beberapa hari sebelumnya.
Karena tak ada protokoler acara, usai pengibaran bendera Merah Putih, mereka yang hadir kemudian membubarkan diri. Sukarno kembali ke kamarnya. Indonesia telah merdeka. (Ado/Yus)