Liputan6.com, Jakarta - Mengunjungi Monumen Tugu Proklamasi akan menarik ingatan terjulur jauh ke 70 tahun silam. Di lokasi tugu ini, kala itu, berdiri rumah pribadi Presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Rumah di Jalan Pegangsaan Timur No 56 saat itu menjadi saksi bisu proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dari titik nol itu, pekikan "merdeka, merdeka, merdeka" dari rakyat Indonesia menggelora. Dari titik nol itu, radio-radio atau pun surat kabar ketika itu menyebarluaskan kabar proklamasi yang dibacakan Sukarno didampingi Mohammad Hatta.
Bangunan yang menghadap ke arah barat itu kini tinggal kenangan. Secara fisik sudah tidak ada. Kini, sebagai penggantinya berdiri Tugu Petir. Titik tempat Sukarno dan Hatta berdiri membaca teks proklamasi di halaman rumahnya ketika itu.
Konon, rumah itu dibongkar oleh keinginan Sukarno sendiri. Tak ada catatan resmi mengenai alasan kenapa insinyur yang punya nama kecil Kusno Sosrodihardjo itu "melenyapkan" bangunan tersebut.
Selain lokasi pembacaan teks proklamasi yang hilang, nama jalan tersebut juga sudah berganti menjadi Jalan Proklamasi Nomor 56. "Saya tidak tahu alasan dibongkar," ujar Staf Tata Usaha dan Ketertiban Tugu Proklamasi, Sugandi.
Menurut Sugandi, wacana untuk membangun kembali sebetulnya sudah pernah mengemuka sejak puluhan tahun lalu. Wacana itu juga kembali muncul pascareformasi 1998.
Advertisement
Sampai sekarang, ketika Indonesia sudah berganti presiden 5 kali sejak 1998 itu, rencana itu belum diwujudkan. "Mungkin pemerintah lupa ada wacana itu," ucap Sugandi.
Ada 3 Tugu Berdiri
Luas total kawasanTugu Proklamasi sekitar 4 hektar. Ada 3 tugu di area ini. Yakni Tugu Petir, Tugu Proklamator, dan Tugu Wanita.
Tugu Petir memiliki tinggi 17 meter. Tepat di atasnya ada lambang petir. Di titik tempat tugu ini tegak bendera Merah Putih jahitan tangan istri Sukarno, Fatmawati, dikibarkan pada 17 Agustus 1945.
Pada Tugu Petir ini, terdapat 'keterangan' yang diukir di atas seperti lempengan yang ditempel. Keterangan itu berbunyi "Disinilah dibatjakan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta."
Tak jauh dari Tugu Petir, terdapat Tugu Proklamator atau Monumen Sukarno-Hatta. Monumen ini menghadap arah utara. Di sini ada 2 patung, yakni patung Sukarno dan Hatta. Kedua patung itu terbuat dari perunggu dengan berat 1.200 kilogram atau 1,2 ton.
Patung Bung Karno saat memegang teks proklamasi itu bertinggi 4,6 meter dengan wajah yang menggambarkan saat berusia 44 tahun. Sedangkan patung Bung Hatta tingginya 4,3 meter yang menggambarkan ketika berumur 43 tahun.
Di monumen ini terdapat pula tulisan teks proklamasi yang diukir pada lempengan perunggu 600 kilogram. Ukuran 'teks' itu sudah diperbesar 200 kali dari ukuran teks asli dengan panjang 290 centimeter dan lebar 196 centimeter.
Selain itu, berdiri pula Tugu Wanita. "Tugu Wanita itu ucapan terima kasih dari pergerakan kaum perempuan atas kemerdekaan Indonesia," kata Sugandi.
Di samping 3 tugu itu, sebagian besar area Tugu Proklamasi adalah taman. Banyak spot yang dibangun memang untuk menjadi tempat bersantai atau istirahat sehabis olahraga di sini.
Kondisinya pun memprihatinkan. Kemudahan warga masuk ke Tugu Proklamasi membuat 3 tugu kerap mengalami kerusakan. Belum lagi pada momen-momen tertentu, area ini dijadikan lokasi demonstrasi atau orasi politik. Sampah berserakan, coretan mudah ditemukan.
Advertisement
Memelihara Ingatan Kolektif
Tak cuma itu, Sugandi mengatakan, banyak remaja berpacaran di taman di Tugu Proklamasi. Terkadang mereka meninggalkan tulisan sebagai 'jejak kisah cinta' pada tembok atau spot-spot tertentu. "Akhirnya kita mengecat ulang tembok-tembok yang banyak coretan," ucap Sugandi.
Beberapa warga yang ditemui di Tugu Proklamasi bahkan tidak mengetahui kalau di dekat Tugu Petir itu dulu berdiri rumah Sukarno. "Saya tahunya Tugu Petir itu tempatnya Sukarno membacakan teks proklamasi. Kan di situ ada penjelasannya juga. Kirain rumah Sukarno bukan di sini," kata Wanda, mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta itu.
Sukmarini bahkan tidak tahu kalau di titik Tugu Petir itu Sukarno dan Hatta membacakan naskah proklamasi. Warga yang tinggal di belakang kawasan Tugu Proklamasi tersebut mengaku tidak pernah membaca keterangan di tugu.
Dia mengaku, setiap kali datang ke Tugu Proklamasi hanya untuk menemani anaknya bermain. "Kalau ke sini cuma menemani anak main doang. Itu juga paling tiap hari Minggu sore," ucap ibu 2 anak ini.
Pemerhati sejarah, Sulaiman Harahap, mengatakan sebetulnya warga yang tengah berada di tempat seperti Tugu Proklamasi begitu dekat dengan peristiwa bersejarah. "Mereka dekat dengan peristiwa sejarah, tapi mereka jauh dari ingatan sejarah," kata Sulaiman.
Dari kacamatanya, kaum muda yang tidak mengetahui keberadaan atau peristiwa sejarah di tempat itu, tidak sepenuhnya bersalah. Ada banyak faktor yang melatari kealpaan mereka terhadap sebuah sejarah.
"Sebetulnya mereka tidak salah. Yang keliru, salah satunya sistem pendidikan mereka, kurikulum, yang tidak memfokuskan pembelajaran terhadap sejarah," ucap pemilik Studio Sejarah di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, ini.
Menurut Sulaiman, pemerintah Indonesia punya peran penting agar generasi muda tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri. "Dua hal yang sejalan mengenai keberlangsungan sejarah. Pertama, memori kolektif. Kedua, bangunan bersejarah yang harus terus dirawat," kata Sulaiman.
"Ada pentingnya sebuah bangunan peninggalan sejarah itu direnovasi atau dibangun lagi. Karena masyarakat kita jadi mudah mengingat sejarah ketika fisiknya ada," ujar Sulaiman. (Yus)