Pasal 'Zombie' Penghinaan Presiden?

Pasal penghinaan terhadap presiden telah dibatalkan oleh MK. Kini, aturan itu dibangkitkan kembali.

oleh Mevi LinawatiLuqman RimadiTaufiqurrohmanSugeng TrionoPutu Merta Surya Putra diperbarui 17 Agu 2015, 22:28 WIB
Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta - Pemuda itu asyik berselancar di jagat maya. Dari sanalah, ia diundang masuk ke grup Facebook yang kuat beraroma politik jelang Pemilu 2014. Ada banyak gambar-gambar tak senonoh di sana. Yang bikin kemarahan sejumlah pihak menggelegak sampai ke ubun-ubun.

Kemudian, pembantu di warung sate itu menyalin salah satu gambar yang menampilkan Joko Widodo yang kini menjadi Presiden ke-7 Indonesia dan Presiden ke-5 Indonesia Megawati Soekarnoputri. Foto itu hasil rekayasa yang hasilnya sungguh tak sopan bahkan bersifat pornografi.

Muhammad Arsyad, nama pemuda itu, tidak menyangka, apa yang dilakukan berbuntut panjang. Dia dilaporkan ke polisi oleh politisi PDIP Henry Yosodiningrat pada 27 Juli 2014, atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran gambar pornografi Presiden Jokowi.

Pada Kamis 23 Oktober 2014, Arsyad ditangkap dan ditahan di Bareskrim Polri. Tapi, kini pemuda asal Ciracas, Jakarta Timur itu bisa bernapas lega. Penangguhan penahanan yang diajukan dikabulkan kepolisian.

Presiden Jokowi, yang dihinanya lewat Facebook, pun menerima uluran maaf yang disampaikan secara langsung orangtuanya Mursida dan Syafrudin di Istana Negara.

Muhammad Arsyad, pemuda yang menghina Presiden Jokowi berkumpul dengan ayah dan ibunya (Liputan6.com/ Ahmad Romadoni)

Arsyad bukan satu-satunya. Pada pertengahan tahun 2014, sebuah tabloid beredar di sejumlah pondok pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tabloid bernama Obor Rakyat itu dinilai mendiskreditkan dan memfitnah Joko Widodo yang kala itu masih calon presiden.

Tim pengacara pasangan Jokowi-JK lalu melaporkan tabloid itu karena juga dinilai menyebarkan kebencian terhadap suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) pada masyarakat Indonesia.

Obor Rakyat Di Bakar Pendukung Jokowi-JK,Wonosobo,Jawa Tengah

Pemimpin Redaksi Tabloid Obor Rakyat Setiyardi Budiono mengaku memiliki narasumber dalam setiap berita yang disebarkannya. Dia mengatakan, tidak ada motif politik dari pemberitaan itu.

Diajukan Era SBY

Pemerintah mengajukan draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterima oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Dalam draf tersebut, pemerintah memasukkan pasal-pasal penghinaan presiden -- yang telah dibatalkan oleh MK pada 2006.

Pemerintah memasukkan perubahan atau menambahkan pasal 263 RUU KUHP:

Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling kategori IV.

Ruang lingkup "penghinaan presiden" pun diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264:  

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal Penghinaan Kepada Presiden dan wakilnya sebelumnya diatur dalam KUHP pada pasal 134, 136 bis, dan 137.

Pasal 134 menyebutkan bahwa "Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah."

Pasal 136 bis menyebutkan bahwa "Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya."

Sementara, Pasal 137 (1) menyebut, "Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana dengan paling banyak tiga ratus rupiah."

Pada pasal (2), disebutkan, "Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan perncarian tersebut."

Ilustrasi KUHP (elsam.or.id)

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan, pasal penghinaan terhadap presiden telah dimasukkan dalam RUU KUHP untuk direvisi sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.

Rancangan revisi itu diajukan ke Komisi III DPR pada 6 Maret 2013.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Soebagyo mengatakan, RUU tersebut adalah inisiatif pemerintah yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015.

RUU tersebut juga telah masuk prioritas Prolegnas 2013, bersama 12 RUU yang sudah siap drafnya.

"Dari 37 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015, baru ada 12 RUU yang sudah siap draf dan naskah akademiknya. RUU inisiatif pemerintah yang telah menjadi prioritas Prolegnas 2013 sebenarnya 10 RUU, tetapi yang siap dibahas hanya 4 RUU. Pembahasan 4 RUU itu pun membutuhkan proses panjang. Paling cepat pembahasannya baru dilakukan pada masa sidang ke-5," ujar Firman ketika dikonfirmasi.

Pemerintahan SBY mengajukan revisi UU untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Rancangan revisi itu diajukan ke Komisi III DPR pada 6 Maret 2013. Namun, belum tuntas.

Menurut anggota Komisi III DPR Abdul Kadir Kading, pembahasan revisi itu belum selesai pada masa itu dan belum menyentuh pasal penghinaan presiden.

"Kalau sebuah RUU ternyata tidak selesai pada masa 5 tahun, maka DPR berikutnya akan memulai dari nol alias dari awal," jelas anggota DPR dua periode itu.

Karding menegaskan, draf revisi 2015 ini akan segera dibahas di DPR. Dia mengatakan, pembahasan itu akan berlangsung dinamis.

"Ini kan masih draf RUU, jadi nanti (memasuki masa sidang ke-5) akan dibahas di Komisi III. Saya kira ini akan dinamis, karena ada 2 pemikiran. Ada yang menganggap perlu dan ada yang tidak," tegas dia.

Tak Mungkin Diterima?

Secara terpisah, Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengatakan, Komisi III saat ini berada pada tahap pembuatan daftar inventarisasi masalah terkait rancangan Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP.  

"Untuk melihat rancangan UU itu (pasal penghinaan Presiden), kami melihat dari pasal ke pasal ayat per ayat. Memang ada beberapa pasal yang dimunculkan kembali sejak adanya putusan MK tentang penghinaan presiden," ujar Aziz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 3 Agustus 2015.  

Aziz mengakui, rancangan UU KUHP yang salah satu pasalnya berisi sanksi terhadap orang yang menghina presiden belum dibahas secara mendalam di Komisi III. "Dalam rancangan undang-undang itu kami belum membahas secara subtansi," kata dia.  

Namun, "Berdasarkan azas hukum yang berlaku, sesuatu yang dibatalkan di MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali," sambung Aziz.  

Politisi Partai Golkar itu menyatakan, keputusan MK itu bersifat final dan mengikat. "Kita tidak ingin membahas 2 kali, dibatalkan 2 kali. Secara logika hukum, tidak mungkin dilakukan."  

Menurut Aziz, pertimbangan dalam amar putusan MK itu detail. Dalam hal tertentu aturan itu berhimpitan dengan Undang-Undang Dasar yang menjaga kebebasan dalam mengungkap pikiran.  

Aziz mengungkapkan perlunya pemahaman lebih jauh mengenai urgensi di balik pengajuan pasal penghinaan terhadap presiden ini. "Apa sih urgensinya? Apakah rancangan UU ini sudah melihat keputusan MK? Kenapa ini dihidupkan kembali? Tentu ini harus dilihat," pungkas politikus Partai Golkar itu.  


Pasal Zombie?

Pasal Zombie?

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil menjelaskan, usulan untuk menghidupkan kembali pasal mengenai penghinaan presiden adalah sebuah kemunduran. Sebab, pasal tersebut telah dihapus MK.

”Ini kan menurut saya kemunduran, dan sepertinya pemerintah tidak taat hukum. Sebab pasal ini sudah dibatalkan MK jadi tak punya kekuatan hukum lagi. Ibaratnya, orang sudah mati lalu hidup lagi, pasal zombie,” jelas Nasir.

Anggota Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo juga menyatakan DPR tidak akan membahas lagi pasal penghinaan presiden tersebut. Jika hal ini dipaksakan, pasti akan dibatalkan lagi.

"Pasal sudah dibatalkan MK, jadi tidak mungkin lagi DPR akan membahas itu. Karena kalaupun dipaksakan, nanti pasti akan dibatalkan oleh MK lagi," tegas dia.

Sementara, Anggota Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, pasal itu boleh dihidupkan kembali dengan catatan, yaitu harus jelas soal yang dimaksud dengan penghinaan.

"Soal pasal penghinaan, boleh-boleh saja. Untuk menjaga martabat dan wibawa presiden. Namun, harus ada rincian jelas, antara penghinaan dan kritik," tegas dia.

Anggota DPR dari Fraksi PDIP Bambang Wuryanto yakin, sebagian besar masyarakat Indonesia telah memahami dari dalam diri bahwa ada batasan dan kepatutan dalam menyampaikan kritik.

"Sebenarnya, sudah paham ada pembatasan, kepatuhan, disesuaikan dengan jiwa kita sebagai bangsa yang beradab," kata Bambang.

Dia pun menjelaskan, anggota Fraksi PDIP yang duduk di Komisi III DPR akan melancarkan komunikasi dengan baik agar pasal ini diloloskan. Tidak hanya itu, Fraksi PDIP juga akan melakukan pendekatan dialog dengan berbagai pihak untuk menerangkan manfaat diberlakukannya pasal tersebut.

"Pastilah, kita dalam posisi berdialog. Kebetulan Presiden dan Wakil Presiden PDIP yang usung, tapi tetap Presiden Indonesia," ujar Bambang.

Anggota Komisi III DPR dari Partai Nasdem Patrice Rio Capella mengatakan, usulan pasal tersebut perlu dikaji secara mendalam. "Karena, MK sudah menghapuskan pasal yang berkaitan dengan itu (penghinaan presiden)," ujar Rio kepada Liputan6.com.

Sekretaris Jenderal Partai Nasdem itu menegaskan, ini bukan mengenai soal kepantasan atau tidak. Akan tetapi, apakah pasal ini masih bisa diberlakukan atau tidak, karena berkaitan dengan putusan MK, yang memuat bahwa di konstitusi semua WN punya hak sama di depan hukum.

"Walau pun menurut aku, bukan berarti Presiden boleh dihina, bukan soal pandangan orang, tapi soal jabatan yang merupakan salah satu simbol sebuah negara," pungkas Rio.

Delik Aduan

Ketua DPR Setya Novanto mengatakan, Presiden merupakan simbol negara yang harus dijaga kewibawaannya. Untuk itu, masyarakat harus dapat mengerti bagaimana menyampaikan kritik atau pendapatnya secara baik.  

"Presiden harus dijaga karena itu simbol negara, bagaimana cara menyampaikan pendapat, kritik yang penting konstruktif. Kritikan mengoreksi diri menjadi lebih baik, tidak boleh ada penghinaan. Kita harapkan untuk saling menghargai, harus mau dikiritik dan dikoreksi, tidak bisa menghina seenaknya," ujar Setya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 4 Agustus.

Kata Setya, pihaknya akan mengevaluasi masukan dari masyarakat dan pemerintah terkait usulan yang diajukan pemerintah terkait pasal penghinaan terhadap Presiden.  

"Supaya ada keterbukaan di alam demokrasi, tapi betul-betul untuk kritikan yang bisa membangun bangsa dan negara," ucap Setya.

Menkumham Yasonna H Laoly. (Liputan6.com/Reza Perdana)

 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menuturkan, seharusnya pengajuan pasal penghinaan presiden tersebut tidak perlu dibesar besarkan karena telah diusulkan sejak masa Presiden SBY.

"Pasal itu sudah ada dari dulu, kok sekarang diributin? Zaman Pak SBY saja sudah dimasukkan dan dibahas di DPR ," kata dia Rabu 5 Agustus 2015.

Dia menegaskan, "kalau dulu ketentuannya itu delik umum. Jadi bila ada yang dinilai polisi menghina presiden akan  ditangkap. Kalau sekarang delik aduan dan sebagai individu," kata Yasonna.

Yasonna mengatakan, tidak tidak adil dan diskriminatif bila seluruh masyarakat Indonesia yang mempunyai hak untuk melaporkan hal yang tidak mengenakkan kepada pihak yang berwajib, sementara presiden tidak.

“Yang benar aja? Sebagai individu, semua orang sama di mata hukum," kata Yasonna.

Yasonna menegaskan, kritik tidak termasuk penghinaan dan malah diperlukan.” Penghinaan itu menyangkut penghinaan pribadi," tutur Yasonna.


Jokowi Mengaku 'Kebal'

Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada DPR mengenai pasal tentang penghinaan presiden dalam Revisi RUU KUHP. Dia tidak mempermasalahkan bila pada akhirnya rancangan tersebut ditolak.

"Itu kan baru rancangan saja kok ramai. Masalah seperti itu sudah saya sampaikan kemarin. Saya sejak walikota, sejak gubernur, setelah jadi presiden, entah dicemooh, diejek, dijelek-jelekkan, sudah makanan sehari-hari," kata Jokowi seusai rapat konsultasi dengan pimpinan lembaga negara, di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu 5 Agustus 2015.‎

Jokowi menyampaikan, di negara yang lain, presiden diartikan sebagai simbol negara. Namun bila di Indonesia, Presiden tidak dianggap sebagai simbol negara, ia pun tidak akan mempersoalkan.

"Tapi kalau di sini memang inginnya tidak, ya terserah. Nanti di wakil-wakil rakyat itu kan. Sekali lagi ini kan rancangan dan itu pemerintah yang lalu (pemerintahan Presiden SBY) juga mengusulkan itu. Ini kan dilanjutkan, dimasukkan lagi," tegas Jokowi.

Dia mengingatkan, justru dengan pasal-pasal tersebut bisa melindungi orang-orang yang bersikap kritis dan memberikan koreksi terhadap pemerintah.

"Ini kan untuk melindungi justru, supaya tidak dibawa ke pasal-pasal karet," kata dia.

Jokowi pun menanggapi sebagian kalangan yang menganggap keberadaan pasal tersebut menjadi pintu bagi penegak hukum untuk menghukum orang yang bersikap kritis dan reaktif, terlebih bila pasal tersebut bukan termasuk delik aduan.

"Tadi sudah saya sampaikan, saya sejak walikota, gubernur, presiden, dimaki, dicaci, diejek kan juga diam. Apa saya pernah bereaksi? Saya tanya ke kamu? Pernah?" ucap Jokowi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menilai pantas bila orang yang menghina Presiden dihukum. Sebab, presiden merupakan kepala negara yang harus dihormati.

“Jadi, kalau memaki-maki atau menghina Presiden tentu fungsi pemerintahan juga terkena. Jadi wajar saja (pasal itu dihidupkan)," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta 3 Agustus.

Dia juga menyerahkan pembahasan pasal tersebut di DPR.

"Kan ini tentu punya alasan. Ini kan masuk KUHP baru kan. Nantilah kita lihat (di DPR seperti apa)," tutur dia.

(ANTARAFOTO/Nyoman Budhiana)

Nasihat SBY

Sementara itu, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, rakyat tak perlu melancarkan kritik berlebihan kepada presiden dan sebaliknya, presiden tak perlu bertindak represif.

Dalam akun twitternya @SBYudhoyono, Minggu 9 Agustus 2015, SBY mengatakan, perkataan dan tindakan menghina, mencemarkan nama baik apalagi memfitnah orang lain, termasuk kepada Presiden itu tidak baik. Di sisi lain, penggunaan kekuasaan berlebihan untuk perkarakan orang yang dinilai menghina, termasuk oleh Presiden juga tidak baik.

"Penggunaan hak & kebebasan, tmsk menghina orang lain, ada pembatasannya. Pahami Universal Declaration of Human Rights & UUD 1945. *SBY*," imbuh dia.

SBY menyatakan, dalam demokrasi memang dibolehkan bebas bicara dan mengkritik termasuk kepada Presiden, tapi tak harus dengan menghina dan cemarkan nama baiknya. Sebaliknya, siapapun termasuk Presiden punya hak untuk menuntut seseorang yang menghina dan cemarkan nama baiknya, tapi janganlah berlebihan.

"Pasal penghinaan, pencemaran nama baik & tindakan tidak menyenangkan tetap ada "karetnya", artinya ada unsur subyektifitasnya. *SBY*."

SBY menuturkan, selama 10 tahun menjadi Presiden, ada ratusan perkataan dan tindakan yang menghina, tak menyenangkan dam mencemarkan nama baiknya."Foto resmi Presiden dibakar, diinjak2, mengarak kerbau yg pantatnya ditulisi "SBY" & kata2 kasar penuh hinaan di media & ruang publik. Kalau saya gunakan hak saya utk adukan ke polisi (karena delik aduan), mungkin ratusan orang sudah diperiksa & dijadikan tersangka. Barangkali saya juga justru tidak bisa bekerja, karena sibuk mengadu ke polisi. Konsentrasi saya akan terpecah *SBY*," papar SBY.

Andai itu terjadi, sambung dia, mungkin rakyat tak berani kritik, bicara keras, takut dipidanakan, dijadikan tersangka, dan presiden jadi tidak tahu apa pendapat rakyat. Kalau pemimpin tak tahu perasaan dan pendapat rakyat, apalagi media juga diam dan tak bersuara, maka bisa jadi bom waktu.

"Sekarang saya amati hal seperti itu hampir tak ada. Baik itu unjuk rasa disertai penghinaan kpd Presiden, maupun berita kasar di media. Ini pertanda baik. Perlakuan "negatif" berlebihan kpd saya dulu tak perlu dilakukan kpd Pak Jokowi. Biar beliau bisa bekerja dgn baik. *SBY*," ungkap SBY.

Kicauan SBY tentang pasal penghinaan Presiden (Twitter)

 

Presiden ke-6 RI itu pun mengimbau, agar rakyat harus belajar menggunakan kebebasan secara tepat, jangan melampaui batas. Ia mengingatkan, kebebasanpun bisa disalahgunakan.

"Ingat, liberty too can corrupt. Absolute liberty can corrupt absolutely. Saya pendukung demokrasi & kebebasan. Tetapi bukan anarki. Sebaliknya, pemegang kekuasaan jangan obral & salahgunakan kekuasaan. Kita sepakat, negara & penguasa tak represif & main tangkap. Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan tidak utk "menciduki" & menindas yg menentang penguasa. *SBY*," beber SBY.

"Para pemegang kekuasaan tak boleh salah gunakan kekuasaannya. Presiden, parlemen, penegak hukum, pers & juga rakyat. Kesimpulan: demokrasi & kebebasan penting, namun jangan lampaui batas. Demokrasi juga perlu tertib, tapi negara tak perlu represif. *SBY*," tutup dia.

SBY pun mengimbau, agar rakyat harus belajar menggunakan kebebasan secara tepat, jangan melampaui batas. Ia mengingatkan kebebasan juga bisa disalahgunakan."Terus terang, selama 10 th jadi Presiden, ada ratusan perkataan & tindakan yg menghina, tak menyenangkan & cemarkan nama baik saya. *SBY*.


Presiden Bukan Lambang Negara?

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai, keberadaan pasal tersebut tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia.  Pasal tersebut menyebut kalau presiden merupakan simbol negara yang tidak boleh dihina. Pemaknaan presiden sebagai simbol negara dinilai kurang tepat untuk konteks alam demokrasi saat ini.

"‎Kita hapus sebagai pasal yang inkonstitusional. Kepala negara sebagai simbol. Simbol itu artinya lambang negara, lambang itu sudah diatur sendiri pada Pasal 36. Lambang negara itu Garuda Pancasila. Jadi, itu teori feodal yang anggap Presiden itu lambang negara," ujar Jimly di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 4 Agustus 2015.‎

Pakar hukum tata negara ini menilai, diajukannya kembali pasal tersebut tidak bisa menyalahkan pemerintah saat ini. Sebab, pengajuan draft pasal tersebut telah ada sejak pemerintah sebelumnya.

Saat itu, Mahkamah Konstitusi bahkan telah menguji pasal tersebut dan akhirnya dibatalkan. "Itu kan sudah dibahas tim hukumnya, banyak ahli pidana ingin mengembalikan itu (pasal penghinaan). Padahal itu pasal yang kita batalkan yang salah satu pengalaman yang jarang terjadi di mana Dewan HAM PBB memuji-muji Indonesia," kata dia.

Saat itu, kata Jimly keputusan MK mendapat respons yang cukup baik dari dunia internasional. Terlebih negara-negara dengan tingkat demokrasi yang lebih maju masih memberlakukan pasal tersebut di negaranya.

"‎Dalam special report Dewan HAM PBB, puji-puji putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan Presiden sebagai suatu kemajuan yang 2 langkah lebih maju dari banyak negara lain, termasuk beberapa negara Eropa seperti Swedia, Belgia, Belanda, di mana pasal itu masih ada," kata dia.

Namun demikian, mantan Ketua MK ini menegaskan, sebagai Kepala negara, tidak boleh ada warga yang menghina presiden. Bila presiden merasa dirinya dihina, maka  sebagai warga negara, Presiden dapat  melaporkannya kepada pihak kepolisian.

"Penghinaan itu tidak boleh kepada siapa saja, apalagi seorang Presiden. Tapi seandainya seorang Presiden merasa dihina, maka yang terasa dihina itu adalah individu pribadi, bukan institusi Presiden. Jadi kalau yang namanya institusi Presiden tidak punya perasaan, maka lembaga Presiden itu tidak bisa merasa dihina. Kalau Presiden merasa dihina ya dia mengadu ke polisi," ucap dia.

Mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra di Jakarta meminta semua pihak untuk tidak salah paham mengenai pasal penghinaan presiden yang masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dia mengatakan, pasal tersebut tidak sama dengan pasal penghinaan presiden seperti dalam teks asli KUHP atau "Wetbook van Strafrecht" yang diberlakukan Belanda di negara jajahan.

Yusril menyebutkan, dulu memang ada pasal penghinaan presiden di teks asli KUHP yang merupakan pasal-pasal penghinaan terhadap Ratu dan Gubernur Jenderal Belanda.

"Jadi menghina Ratu Belanda itu pidana dan tidak perlu diadukan sedangkan menghina orang biasa perlu pengaduan, karena itu menyebabkan ketidaksetaraan setiap orang di dalam negara, maka MK kemudian membatalkan pasal itu," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang tersebut, Senin 10 Agustus 2015 malam.

Pasal yang dimaksud oleh Yusril adalah Pasal 130, 132, 133, 136, 138, dan 139 KUHP yang ditiadakan berdasarkan Pasal VIII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Sedangkan, pasal penghinaan presiden yang sebelumnya dihapus Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tercantum pada Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP.

Dia berpendapat, bukan berarti pasal penghinaan tidak perlu ada. "Jangankan Presiden, kita orang biasa saja dihina bisa ditindak orang yang menghina itu. Jadi jangan disalahpahami apa yang dikatakan oleh Presiden seolah-olah mau menghidupkan pasal yang sesuai dengan pasal Ratu Belanda itu," kata Yusril. (Mvi/Ein)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya