70 Tahun Merdeka, Kedaulatan Cyberspace Indonesia Masih Terancam

Setidaknya ada 100 ribu situs berbahaya dari Indonesia yang ikut andil.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 17 Agu 2015, 17:31 WIB
Pendiri CISSReC Pratama Persadha

Liputan6.com, Semarang - Secara yuridis Indonesia memang sudah merdeka selama 70 tahun. Dan saat ini Indonesia tak hanya harus menjaga kedaulatan darat, laut dan udara, namun bertambah dengan wilayah cyber atau biasa disebut dengan cyberspace.

Dalam sebuah diskusi internal CISSReC (Communication and Informaton System Security Research Center), yaitu sebuah lembaga riset keamanan cyber, komunikasi dan sistem informasi di Indonesia, Senin (17/8/2015), disimpulkan bahwa kondisi wilayah cyber hampir di seluruh dunia memang tidak bisa dibilang sepenuhnya aman. 

Kaspersky Lab baru saja merilis data dalam tiga bulan terakhir ada 379 juta serangan malware di dunia maya. Dari serangan sebanyak itu, setidaknya ada 100 ribu situs berbahaya dari Indonesia yang ikut andil.

Pendiri CISSReC Pratama Persadha sebagai narasumber tunggal menyebutkan bahwa besarnya jumlah situs berbahaya di Indonesia ini bisa banyak penyebabnya. Faktor ketidaktahuan mendominasi hal ini. Disarankan pemerintah sebaiknya pro aktif memberikan kesadaran keamanan cyber kepada masyarakat.

"Situs berbahaya itu bisa karena memang sejak dibuat sengaja untuk tujuan buruk, bisa dilihat bila mereka hosting di tempat yang sudah dilabel berbahaya. Tapi juga banyak faktor ketidaktahuan, misalnya situs yang dikelola sudah terserang malware dan virus," kata Pratama.

Menurutnya, kemudahan membuat web berbasis blog saat ini kurang diikuti oleh pengetahuan dasar keamanan cyber. Selain itu, situs-situs terkemuka juga belum banyak yang menerapkan keamanan tingkat tinggi seperti enkripsi.

"Situs berbahaya tersebut kini semakin mudah diakses netizen, terutama dengan adanya media social. Ditambah judul provokatif dan gambar yang membuat penasaran di Facebook misalnya, jelas para netizen tertarik untuk mengklik link tersebut," tambah Pratama.

Menurut mantan petinggi Lembaga Sandi Negara ini, masyarakat perlu mendapatkan edukasi yang cukup. Bila tidak, transaksi perbankan nasabah lewat smartphone maupun PC bisa saja terkena malware dan kehilangan dana yang tidak sedikit.

Serangan Pada Penerbangan dan Perbankan

Salah satu hal yang paling dikhawatirkan adalah malware yang menyerang situs-situs penerbangan. Seperti Air Traffic Center (ATC) dan situs resmi maupun sistem maskapai. Pada akhir 2013 misalnya, Garuda Indonesia menerima serangan akibat pertempuran hacker Indonesia dan Australia.

"Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau sistem ATC diambil alih dan pesawat yang sedang terbang jadi kesulitan komunikasi maupun landing kembali. Pun sistem maskapai bila diserang juga akan membuat jadwal penerbangan kacau balau," jelas Pratama.

Karena itu menurutnya, pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada pengamanan wilayah cyber di Indonesia. Semakin besarnya ketergantungan dan interaksi masyarakat, dunia bisnis dan juga pemerintah pada wilayah cyber ini harus diimbangi dengan keamanan yang ketat.

"Kini kita memasuki wilayah cyber dan negara wajib hadir, tak hanya sebagai regulator yang mengais untung di sana, namun sekaligus menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanannya," ujar Pratama.

Menurut mantan Ketua tim IT Kepresidenan ini, masyarakat yang awam terhadap keamanan cyber tidak bisa disalahkan bila ada kehilangan dana di bank akibat serangan hacker maupun malware. Negara dan dunia perbankan harus aktif mengamankan wilayah cyber yang mulai menjadi "konsumsi" primer mayarakat di perkotaan.

"Salah atu bentuk pro aktif negara adalah dengan adanya lembaga khusus yang bertanggung jawab mengurus wilayah cyber ini. Semoga Presiden Jokowi segera merealisasikan terbentuknya Badan Cyber Nasional (BCN)," papar Pratama.

Pria yang 20 tahun lebih bergelut di dunia intelejen dan keamanan cyber ini berharap semakin bertambahnya umur Republik, bisa diikuti dengan keamanan wilayah cyber yang mumpuni.

(edh/isk)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya