Liputan6.com, Bangkok - Menjadi novelis adalah cita-cita Harry Nicolaides. Di sela-sela aktivitasnya menjadi pengajar di Chiang Rai University Thailand, ia pun menerbitkan sebuah buku. Judulnya Verisimilitude.
Pria asal Australia itu membumbui novel keduanya yang bergaya semi-autobiografi dengan rumor kisah asmara seorang pangeran Negeri Gajah Putih tak disebut namanya. Tak banyak, hanya 103 kata dalam 12 kalimat.
Advertisement
Meski tak terang-terangan, tulisan Harry diduga menyinggung gaya hidup Putra Mahkota Thailand Maha Vajiralongkorn, satu-satunya anak lelaki Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit.
Belakangan, sang pangeran baru saja menceraikan istri ketiganya, Srirasmi dan mencopot gelar kebangsawanan perempuan itu.
Buku karya Harry dicetak secara terbatas, 50 eksemplar. Itu pun tak semua terjual, hanya 7 buku yang laku.
Harry sama sekali tak menyangka, bukunya yang gagal total di pasaran itu bakal membawa masalah besar baginya.
"Padahal, dari awal, hingga akhir isi novel itu fiksi belaka," kata dia seperti dikutip dari Huffington Post. "Aku bukanlah aktivis politik, hanya penulis biasa."
Minggu, 31 Agustus 2008, pria keturunan Yunani itu berada di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, menanti pesawat yang akan membawanya ke Melbourne.
Sudah berbulan-bulan ia mempersiapkan diri untuk pulang. Harry juga sudah melayangkan surat lamaran kerja ke sebuah hotel bintang 5 anyar milik InterContinental group yang baru didirikan di kotanya. Gayung bersambut, ia dipanggil untuk wawancara.
Namun, hal tak biasa terjadi di konter pemeriksaan paspor. "Anda punya kasus di sini, Pak?" tanya seorang petugas. Harry menggeleng dan melangkah masuk ke ruang tunggu.
Sejam kemudian, sejumlah petugas imigrasi tak berseragam menghambur masuk, menangkap, dan memborgolnya. Apa yang ia alami berikutnya jauh lebih mengerikan dari mimpi buruk.
"Di sel yang gelap dan basah, aku melucuti pakaian dan meletakkannya di lantai untuk alas tidur. Sepatu jadi bantalnya. Namun, mustahil untuk tidur. Aku haus, lapar, bingung, dan sendirian," kata dia seperti dikutip dari situs The Montly.
Pagi harinya, dalam kondisi terborgol, ia dipindahkan ke Bangkok Remand Prison.
Kemudian, Harry ditahan di dalam sel sempit yang sumpek, yang dijejali tahanan asal Thailand, Myanmar, dan Kamboja yang setengah telanjang dan berpeluh. Ia pun harus berbagi toilet dengan 60 tahanan, termasuk para penjahat seksual dan bandar senjata. Seminggu pertama, ia kena flu berat.
"Segala sesuatu terasa asing. Tak ada penjaga dan teman satu sel yang bicara Bahasa Inggris. Sementara, tak ada cara untuk berhubungan dengan dunia luar."
Kematian akibat perkelahian memperebutkan hal kecil seperti rokok sering terjadi di dalam penjara. Sejumlah narapidana memilih mengakhiri hidup dengan gantung diri. Semua itu membuatnya makin tersiksa.
Pada 19 Januari 2009, pada usia 41 tahun, Harry Nicolaides, divonis 3 tahun bui, separuh dari tuntutan jaksa.
"Ia menulis sebuah buku yang memfitnah raja, putra mahkota, dan monarki Thailand," demikian vonis hakim. "Terdakwa melanggar Pasal 112 UU Kriminal dan pengadilan memvonisnya dengan pidana 6 tahun bui. Namun, karena pengakuannya, yang bermanfaat baginya dalam kasus ini, hukuman dikurangi menjadi 3 tahun."
Nun jauh di Melbourne, Despina Nicolaides pingsan saat menonton televisi tentang penahanan anaknya. "Itu mimpi buruk bagiku, melihat anakku dalam balutan baju oranye gelap. Mengapa ia harus ditahan? Ia hanya menulis buku," tangis perempuan itu. Tak lama kemudian ia jatuh pingsan.
Tak sampai 3 tahun. Pada 2009, Harry dibebaskan atas dasar pengampunan. Sebelum melangkah keluar penjara, ia wajib menyembah foto sang raja.
Raja pun Keberatan
Sebelumnya, Oliver Jufer, warga negara Swiss yang menyemprot foto Raja Thailand dengan piloks hitam saat sedang mabuk di malam hari, juga diperkarakan. Jufer ditahan pihak berwajib dengan bukti rekaman CCTV yang dipasang tak jauh dari lokasi kejadian. Ia ditahan selama 4 bulan tanpa pengadilan.
Meski divonis 10 tahun penjara, Jufer hanya menjalani pidananya beberapa bulan lalu dideportasi. Lese majeste atau penghinaan terhadap raja dan keluarganya adalah kejahatan serius di Thailand. Termasuk di masa pemerintahan Raja Bhumibol Adulyadej. Pelaku menghadapi ancaman maksimal 75 tahun pidana.
Namun, tak pernah ada keluarga kerajaan yang menggunakan "pasal karet" itu. Orang lain yang melakukannya, meski mereka sama sekali tak ada kaitannya dengan kaum darah biru. Di Thailand, semua orang bisa melaporkan lese majeste.
Pada pidato ulang tahunnya di tahun 2005, Raja Bhumibol Adulyadej menunjukkan keberatannya pada aturan itu. "Jika kita bertahan pada aturan bahwa Raja tak boleh dikritik atau diganggu gugat, maka Raja justru akan menghadapi situasi sulit," kata dia.
Menurut The Economist, di Thailand, pasal penghinaan terhadap Raja dan keluarganya juga bisa dimanfaatkan oleh oknum nakal.
Pada 2012, Amphon Tangnoppaku divonis 20 tahun atas kasus penghinaan terhadap Ratu Sirikit dengan cara mengirimkan pesan pendek atau SMS.
Pria yang dikenal dengan julukan "Uncle SMS" itu hanya beberapa bulan menjalani hukumannya. Ia yang mengaku tak tahu menahu soal pesan pendek yang dikirim dari ponselnya, tewas di dalam bui.
Hukum Menghina Raja ala Eropa
Konsep lese majeste atau merendahkan raja kali pertama diberlakukan pada era Romawi Kuno, kemudian diadopsi Eropa Abad Pertengahan yang menerapkan monarki absolut. Sementara, aturan serupa juga ada di Asia.
Sebagian bahkan bertahan pada era modern ini. Termasuk di Eropa era modern.
Pada 2005, polisi Polandia menahan 28 demonstran yang memprotes kedatangan Presiden Rusia Vladimir Putin. Di negara itu diperlakukan perlindungan hukum atas penghinaan kepada setiap kepala negara yang berkunjung. Pun di Belanda.
Negara yang menikmati keran kebebasan yang dibuka lebar. Pada 16 November 2014, aktivis Abulkasim al-Jaberi ditangkap atas tuduhan menghina Willem-Alexander -- raja pertama yang memerintah Belanda setelah 120 tahun. Sebelumnya, Koninkrijk der Nederlanden selalu diperintah para ratu.
Ia dikenakan pasal lese majeste yang ditetapkan pada 1881. Produk hukum Abad ke-19 yang menerapkan hukuman 5 tahun bui atau denda lebih dari 20 ribu euro.
Al Jaberi termasuk dalam sekelompok demonstran di Amsterdam yang menentang tokoh Zwarte Piet atau 'Piet Hitam' dalam perayaan Santo Nikolas.
Wajah karakter itu yang hitam dinilai rasis oleh sebagian orang. Sebaliknya, para pendukung menyebut, warna gelap itu akibat arang dari cerobong asap, bukan warna kulit.
Dalam orasinya yang terekam kamera televisi, Al Jaberi melontarkan rentetan kata-kata umpatan terhadap Raja Willem-Alexander. Itu yang membuatnya ditangkap.
"Polisi menyeretnya dari panggung dan menahannya," kata pengacaranya, Willem Jebbink. "Belanda mengaku sebagai negara yang menghormati hak asasi manusia. Namun, penahanan Al Jaberi adalah tindakan memalukan dan sama sekali tak terhormat."
Belanda bukan satu-satunya negara Eropa yang menghukum mereka yang menghina seorang raja atau kerabatnya. Pada 2007, 2 kartunis di Spanyol masing-masing didenda 3.000 euro karena memublikasikan sebuah kartun El Jueves, yang menggambarkan Putra Mahkota Felipe berhubungan dengan istrinya.
Advertisement
Menghina Berarti Mati
Hyon Yong-chol adalah seorang jenderal. Ia memiliki kedudukan tinggi di militer dan partai.
Saat pemimpin Korut, Kim Jong-il tutup usia pada Desember 2011, Hyon menjadi salah satu anggota komite pemakaman. Itu menunjukkan ia bukan orang sembarangan.
Pada Juni 2014, pria yang lahir pada 11 Januari 1949 itu bahkan didaulat jadi Menteri Pertahanan Korea Utara. Namun, bintangnya meredup tak lama kemudian.
Alasan utamanya, ia tertidur di tengah pawai militer yang dihadiri pemimpin muda, Kim Jong-un. Wajahnya yang takluk oleh kantuk tersorot kamera televisi.
Padahal, ekspresi bosan atau wajah yang melamun sudah merupakan penghinaan untuk pemimpin Korut. Apalagi tidur.
Hyon juga dinilai gagal mengemban tugas dari Kim, melakukan pengkhianatan dan subversif. Sebagai ganjarannya, Hyon dieksekusi mati di pusat latihan militer di Kanggon. Menggunakan 4 senjata anti-rudal berukuran kecil. Sadis!
"Ia (Hyon) dituding menunjukkan ketidaksetiaan kepada pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un," demikian dilaporkan Yonhap yang dikutip dari BBC. "Hyon Yong-chol tertidur pada sebuah acara yang dihadiri Kim Jong-un." (Ein/Ali)