Rantai Distribusi Panjang Bikin Harga Ayam Melonjak

Saat ini harga daging ayam di kisaran Rp 38 ribu-Rp 40 ribu dari harga normal sekitar Rp 16 ribu-Rp 17 ribu.

oleh Septian Deny diperbarui 18 Agu 2015, 16:21 WIB
Menjelang berakhirnya libur Hari Raya Idulfitri, harga daging sapi dan ayam justru bertambah tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - Kini pedagang ayam di sejumlah wilayah Jabodetabek menggelar mogok jualan. Langkah ini dilakukan setelah pedagang daging sapi juga mogok jualan pada pekan lalu.

Harga ayam tinggi di tingkat pedagang pasar tradisional menjadi salah satu pemicu mogok tersebut. Saat ini harga ayam potong berkisar Rp 38 ribu-Rp 40 ribu per kilo gram (kg).

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI) Anton J Supit mengatakan harga ayam potong tinggi di tingkat pedagang lantaran panjangnya mata rantai dari peternak hingga ayam sampai ke pasar.

"Karena mata rantainya yang panjang hingga ke pasar," ujar Anton di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (18/8/2015).

Dia menjelaskan, tingkat peternak sebenarnya harga normal ayam hidup hanya sekitar Rp 16 ribu-Rp 17 ribu per kg. Namun saat sampai ke pedagang, harga ayam bisa meningkat hingga lebih dari dua kali lipat.

"Harga daging normal Rp 16 ribu-Rp 17 ribu per kg hidup. Kalau dijual per ekor di farm (peternakan) Rp 20 ribu," lanjutnya.

Anton menilai, tingginya harga ayam ini justru tidak dinikmati oleh para pedagang maupun peternak. Harga daging ayam tinggi ini hanya dinikmati oleh pihak-pihak di dalam rantai distribusi.

"Yang untung itu mata rantainya. Jadi 80 persen-90 persen (keuntungan) di sana, di pasar modern itu 10 persen. Jadi jangan salahkan peternak. Ini belum untung sudah disalahkan," kata dia.

Anto juga menyatakan, para pengusaha telah mengeluhkan soal panjangnya rantai distribusi ini kepada pemerintah, namun hingga saat ini belum ada tindakan nyata yang dilakukan pemerintah.

"Itu panjang, tidak hanya satu. Ini yang harus dibenahi. Kita sudah minta pemerintah atur, maunya di tata kembali oleh Kementerian Pertanian. Ini karena ego sektoral," ujar Anton. (Dny/Ahm)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya