Liputan6.com, Hanoi - Mengikuti China, Vietnam juga melemahkan mata uangnya Dong atau devaluasi Dong untuk ketiga kalinya pada 2015. Langkah itu dilakukan Vietnam untuk memperkuat ekspor lesu dan menghadapi tantangan dari devaluasi Yuan.
Selain itu, bank sentral Vietnam mengatakan, intervensi juga dilakukan untuk mengantisipasi tingkat kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS). Bank sentral Vietnam menurunkan tingkat kurs tengahnya sekitar 0,99 persen menjadi 21,890 dong per dolar AS. Pelemahan mata uang Dong terjadi dua kali dalam enam hari sehingga total menjadi 3 persen. Sebelumnya bank sentral Vietnam telah melemahkan mata uang Dong pada Januari dan Mei.
Advertisement
Ada pun pelemahan Dong ini menekankan kekhawatiran Yuan melemah dapat melebarkan defisit neraca perdagangan Vietnam. Ekonomi Vietnam sangat berkaitan erat dengan China. Ekspor Vietnam ke China naik 3,6 persen menjadi US$ 7,7 miliar pada semester I 2015. Kedua negara ini sangat bersaing untuk investasi dari perusahaan asing. Apa lagi Yuan melemah dapat membuat barang Vietnam lebih mahal.
"Langkah bank sentral Vietnam begitu cepat, dan hampir belum pernah terjadi sebelumnya di Vietnam. Bank siap menghadapi tantangan pasar," ujar Chairman HSBC Vietnam Pham Hong Hai, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (20/8/2015).
Ekonom bank Mizuho, Vishnu Varathan menilai Dong merupakan salah satu mata uang tangguh di tengah pelemahan mata uang di negara berkembang. Langkah bank sentral Vietnam melemahkan mata uangnya memang dinilai ikut perang mata uang, tetapi Varathan menolak hal tersebut.
Langkah bank sentral Vietnam ditafsirkan sebagai upaya menjaga ekspor setelah China melemahkan mata uangnya. Hal itu mengingat China sebagai mitra dagang terbesar Vietnam.
Depresiasi Dong hampir lima persen sepanjang 2015. Varathan mencatat masih belum menutup kesenjangan dengan sebagian besar mata uang ASEAN lainnya. Sebagai perbandingan, mata uang Thailand Baht telah turun 8 persen, Rupiah Indonesia susut 12 persen, dan Ringgit Malaysia melemah 17 persen terhadap dolar AS.
Tak hanya Vietnam melemahkan mata uangnya, Kazakhstan juga dikabarkan akan devaluasi mata uangnya di tengah harga minyak mentah turun tajam. Negara tersebut merupakan produsen minyak terbesar kedua di wilayah bekas Soviet setelah Rusia.
Pemerintah Kazakhstan pun mendorong masyarakatnya untuk belajar hidup dari harga minyak rendah terutama di kisaran US$ 30-US$ 40 per barel.
Pada Februari 2014, Kazakhstan telah devaluasi mata uangnya tenge sekitar 19 persen di tengah harga minyak rendah. Hal itu menjaga pertumbuhan ekonomi 4,3 persen. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi turun menjadi 1,5 persen pada 2015. Akan tetapi, Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev mengatakan tidak akan ada devaluasi baru.
Sementara itu, Kepala CEEMEA ICBC Standard Bank Demetrios Efstahiou mengharapkan devluasi dapat terjadi pada Agustus. Devaluasi akan terjadi sekitar 10-15 persen. (Ahm/Ndw)