Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai uji materi mengenai aturan minimal 2 pasangan calon ke Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tepat. Terlebih uji materi Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada itu diajukan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru.
"Saya kira sangat tepat. Pemerintah, KPU, DPR saya rasa akan menerima putusan MK," ucap politikus PDI Perjuangan ini di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (20/8/2015).
Dia berharap MK akan segera cepat memutus uji materi tersebut. Sebab, aturan itu membuat daerah-daerah yang hanya ada 1 pasangan calon baru bisa mengikuti pilkada serentak pada 2017.
"Mudah-mudahan itu akan cepat diputuskan oleh MK. Sehingga hak konstitusional satu pasangan calon itu nantinya seperti apa," ucap Tjahjo.
Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memutuskan sejumlah daerah ditunda sampai pilkada serentak 2017. Namun, Tjahjo tetap akan menunggu bagaimana pandangan MK atas permasalahan pasangan calon tunggal ini.
"Kami ingin menunggu bagaimana pandangan MK. Pada prinsipnya pilkada serentak adalah serentak, walau cuma ada satu pasangan calon," kata Tjahjo.
Genting?
Mengenai Perppu, lanjut dia, pemerintah masih menganggap kondisi ini belum dapat dikategorikan sebagai keadaan genting dan memaksa, sebagaimana syarat dikeluarkannya perppu. Oleh karena itu, pemerintah akan menunggu Ketua MK Arief Hidayat dan kawan-kawan mengambil putusan.
"Apakah 4 daerah itu masuk kategori kegentingan memaksa? Kan tidak, sehingga perlu penguatan. Mereka mengajukan ke MK, maka kita tunggu. Kita masih berupaya satu pasangan calon itu bisa ikut pilkada serentak. Soal teknisnya apa, pemerintah tunggu putusan MK," kata Tjahjo.
Sebelumnya, Effendy Gazali bersama Yayan Sakti Suryandaru mengajukan judicial review terhadap Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Mereka mempermasalahkan aturan minimal 2 pasangan calon sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.
Dengan aturan itu, pilkada di sejumlah daerah terpaksa ditunda sampai 2017 karena hanya ada 1 pasangan calon saja yang mendaftar. Bagi Effendi dan Yayan menilai, aturan tersebut berpotensi merugikan hak konstitusionalnya warga negara di daerah-daerah.
"Hak memilih warga yang tinggal di daerah dengan pasangan calon tunggal jelas dirugikan. Ini tidak memberi kepastian hukum dan bersifat diskriminatif," ujar Effendi di Gedung MK, Jakarta, Rabu 19 Agustus.
Menurut Effendi, kerugian konstitusional ini potensial terjadi di seluruh Indonesia. Sebab, tidak ada jaminan fenomena calon tunggal ini tidak akan terjadi pada pilkada serentak tahun 2017 dan tahun-tahun selanjutnya.
Aturan dalam pasal-pasal tersebut dinilai cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. (Bob/Sss)
Advertisement