Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin jatuh lebih dalam hingga menyentuh level 13.917 pada Kamis pekan ini. Tekanan ini berasal dari faktor eksternal maupun internal, mulai dari spekulasi tertundanya kebijakan kenaikan suku bunga The Fed, perang mata uang sampai kisruh Kabinet Kerja.
Pengamat Valas, Farial Anwar membeberkan penyebab depresiasi rupiah dari faktor global. Pertama, sambungnya, ada dua spekulasi yang beredar soal penyesuaian Fed Fund Rate yakni tetap diperkirakan pada September, namun ada pula yang memprediksi ditunda.
Advertisement
"Dengan adanya devaluasi Yuan, diperkirakan kenaikan suku bunga acuan AS akan tertunda, bisa mundur. AS sangat kecewa dengan devaluasi Yuan karena mereka ingin Yuan dimahalkan bukan dibuat murah karena AS mengalami defisit perdagangan dengan China akibat serbuan barang-barang asal sana," ucap dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (21/8/2015).
Farial menjelaskan, tindakan devaluasi diikuti Vietnam yang sengaja mendepresiasi mata uangnya Dong. Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadi perang mata uang (currency war).
"Dikhawatirkan semua negara berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita lihat saja, nanti negara mana lagi yang akan bereaksi sama, apakah Korea, Jepang dan lainnya. Karena dengan langkah itu, dolar makin menguat," tegas dia.
Kebijakan Yuan dan Vietnam, lanjut Farial, semakin menambah ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS karena mengganggu ekspektasi pelaku pasar.
Dari sisi dalam negeri, Farial mengatakan, harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional.
"Yang ada justru konflik antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Menteri BUMN dan Wakil Presiden yang diangkat di media massa. Artinya semakin memberi kesan pemerintahan ini tidak mungkin bisa bekerjasama dengan baik. Malah menimbulkan masalah baru," ucap Farial.
Ekspektasi pasar dengan terpilihnya Darmin Nasution sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Ia menilai hal itu seketika hilang karena kisruh di tubuh Kabinet Kerja. Situasi tersebut, sambung dia, ikut menggoyahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai menjauh dari level 4.500.
"Asing melakukan aksi jual bersih di pasar modal sampai Rp 4,9 triliun. Karena rupiah jeblok, investor takut rugi valas, takut babak belur. Akhirnya permintaan dolar semakin besar dan mahal," kata Farial.
Dia memperkirakan, tren pelemahan kurs rupiah akan terus berlanjut karena ketidakpastian tersebut. Sayangnya, Farial enggan menyebut proyeksi pelemahan kurs rupiah.
"Saya mengharapkan tidak lebih dari Rp 13.900-an. Mudah-mudahan Bank Indonesia (BI) bisa menahannya, karena saat ini BI satu-satunya harapan kita," tandas Farial. (Fik/Ahm)