Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin tertekan menjelang akhir pekan ini. Ketidakpastian ekonomi global menjadi sentimen utama membuat rupiah makin tertekan.
Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (21/8/2015), nilai tukar rupiah bergerak di kisaran 13.882-14.001 per dolar AS sepanjang hari ini. Namun, saat perdagangan sore, rupiah agak menguat di kisaran 13.921 pada pukul 03.40 waktu Singapura.
Advertisement
Rupiah dibuka melemah tipis 8 poin ke level Rp 13.893 per dolar AS pada Jumat pagi ini dari penutupan perdagangan Kamis 20 Agustus 2015 di kisaran 13.885 per dolar AS.
Sementara, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah 0,4 persen menjadi 13.895 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.838 per dolar AS.
Rupiah sudah mengalami depresiasi sekitar 10,68 persen dari awal tahun di kisaran 12.545 per dolar AS menjadi 13.885 per dolar AS pada Kamis 20 Agustus 2015.
Analis pasar uang PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan, Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi agar rupiah tidak melemah tajam, di sisi lain bank sentral AS berupaya agar dolar AS tidak terlalu menguat. Hal itu lantaran penguatan dolar AS dapat mempengaruhi kinerja perusahaan AS.
"Dari rilis notulen pertemuan bank sentral AS menunjukkan kalau The Federal Reserves belum yakin untuk menaikkan suku bunga sehingga kembali menimbulkan ketidakpastian," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menambahkan, sentimen negatif lainnya datang dari Vietnam. Negara tersebut mengikut langkah China yang melemahkan mata uangnya. "Vietnam melemahkan mata uang Dong menambah tekanan terhadap rupiah," kata Rully.
Rully menuturkan, sentimen eksternal kurang bagus tersebut membuat rupiah dapat tembus 14.000 per dolar AS.
Sementara itu, Pengamat Valas, Farial Anwar membeberkan penyebab depresiasi rupiah dari faktor global. Pertama, sambungnya, ada dua spekulasi yang beredar soal penyesuaian Fed Fund Rate yakni tetap diperkirakan pada September, namun ada pula yang memprediksi ditunda.
"Dengan adanya devaluasi Yuan, diperkirakan kenaikan suku bunga acuan AS akan tertunda, bisa mundur. AS sangat kecewa dengan devaluasi Yuan karena mereka ingin Yuan dimahalkan bukan dibuat murah karena AS mengalami defisit perdagangan dengan China akibat serbuan barang-barang asal sana," ucap dia.
Farial menjelaskan, tindakan devaluasi diikuti Vietnam yang sengaja mendepresiasi mata uangnya Dong. Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadi perang mata uang (currency war).
"Dikhawatirkan semua negara berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita lihat saja, nanti negara mana lagi yang akan bereaksi sama, apakah Korea, Jepang dan lainnya. Karena dengan langkah itu, dolar makin menguat," tegas dia.
Kebijakan Yuan dan Vietnam, lanjut Farial, semakin menambah ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS karena mengganggu ekspektasi pelaku pasar.
Dari sisi dalam negeri, Farial mengatakan, harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional. (Ahm/Igw)