Liputan6.com, Beijing - Sistem transportasi massal yang baik membuat kota sebesar Beijing, yang luasnya lebih dari 16.801 kilometer persegi dan disesaki lebih dari 22 juta manusia, menjadi lebih manusiawi.
Macet memang masih terjadi, tapi tak separah Jakarta. Setidaknya mobil masih bisa berjalan lambat dan udara tak dipenuhi asap knalpot. Warga bisa memilih, naik kereta bawah tanah, bus, trem, menggenjot sepeda atau menaiki motor -- yang harus ditenagai listrik.
Orang-orang pun bebas berlalu lalang di trotoar lebar dan diteduhi pepohonan, tanpa khawatir diseruduk sepeda motor yang merampas hak para pejalan kaki.
Lebih jauh lagi, hadirnya kereta cepat di Tiongkok atau China Railway High-speed (CRH) makin memperpendek jarak antarwilayah di negara yang luasnya hampir 10 juta kilometer persegi dan kian menyatukan lebih dari 1,3 miliar penduduknya.
Kereta cepat di Tiongkok dikelola oleh China Railway Corporation.
"China Railway adalah perusahaan paling besar di dunia dalam bidangnya," kata He Huawu, Chief Engineer China Railway di Beijing, Jumat 21 Agustus 2015.
Advertisement
Jarak operasi kereta cepat Tiongkok telah mencapai 17 ribu kilometer atau 60 persen dari jarak operasi total dunia.
Kecepatannya yang mencapai 350 km/jam memangkas waktu tempuh antarwilayah.
Misalnya Beijing-Shanghai yang sebelumnya ditempuh dalam waktu 11 jam 41 menit kini menjadi 4 jam 48 menit. Beijing-Guangzhou yang sebelumnya membutuhkan waktu 20 jam 31 menit kini menjadi kurang dari 8 jam.
Dari tahun 2007 hingga 2014, sudah 3,11 miliar penumpang yang telah terangkut.
Dengan pengalaman itu, Tiongkok berniat terlibat dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang digagas Pemerintah Indonesia. Bersaing dengan Jepang.
Salah satu alasannya, pihak Tiongkok berhasil membangun dan mengelola kereta cepat dalam berbagai kondisi geologis. Dari iklim dingin maupun tropis seperti Indonesia.
"Kami akan bekerja sama dengan pihak Indonesia. Akan ada pelatihan bagi personel dan staf perkeretaapian Indonesia," kata He Huawu.
Pada permulaan, hanya sistem perakitan yang akan dilakukan di Indonesia.
"Setelah itu secara berkala, produksi akan dilakukan di Indonesia," tambah dia. Selain itu pihak Tiongkok memastikan akan memberikan transfer teknologi.
Setidaknya akan ada 3 tahapan pengadaan kereta. Pertama, electric multiple unit (EMU) akan diimpor. Kedua akan dirakit di Indonesia untuk bagian-bagian utama. "Yang ketiga adalah produksi lokal EMU di Indonesia."
Berbagi Tanggung Jawab
He Huawu menambahkan, alasan lain bahwa Tiongkok cocok menjadi mitra Indonesia adalah kesamaan sikap pemimpin 2 negara.
"Presiden Jokowi mengedepankan pembangunan bidang maritim. Sementara Presiden Xi Jinping mendorong terbentuknya Maritime New Silk Road ('Jalur Sutra Baru' di bidang maritim). Kedua pemimpin berbagi gagasan untuk mengupayakan pembangunan yang cepat," kata dia.
"Kita juga akan berbagi tanggung jawab bersama. China tak hanya mengejar 'lampu hijau'. Kami bekerja sama mengurangi kemacetan antara Jakarta dan Bandung, yang mendukung perkembangan ekonomi 2 wilayah, seperti yang ada di China."
Tawaran China, tambah dia, mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Salah satunya adalah penggunaan energi listrik, bukan BBM, yang lebih ramah lingkungan.
"Ini adalah kerja sama yang saling menguntungkan."
60 Persen Komponen Lokal
Tiongkok menawarkan skema joint venture antara konsorsium China dan konsorsium Indonesia. Nantinya, Indonesia akan memegang 60 saham, sementara sisanya 40 persen di pihak Beijing.
Selain itu, Tiongkok menjanjikan, kandungan komponen lokal Indonesia dalam program kereta cepat Jakarta-Bandung mencapai 60 persen.
"Misalnya, kami butuh jembatan untuk rel kereta cepat. Fondasinya menggunakan kabel baja. Itu akan dibeli dari Indonesia," kata He.
Komponen lokal yang juga digunakan adalah material konstruksi, mesin, fasilitas, peralatan operasional, semen, dan lainnya.
"Kami akan membeli material dan peralatan yang diproduksi di Indonesia yang sesuai standar kami," kata pria berkaca mata itu.
"Kami juga akan mempekerjakan staf teknik dan pekerja sebanyak mungkin dari Indonesia. Selama, mereka sesuai dengan standar kami."
Selain bekerja sama dengan PT Industri Kereta Api Indonesia atau INKA, Tiongkok juga akan menggandeng PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dan sejumlah BUMN lainnya.
Isu Pembebasan Tanah
Ini fakta: sejumlah proyek di Indonesia mandeg gara-gara masalah pembebasan lahan.
Masalah serupa juga berpotensi menghambat pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Lantas, bagaimana mengatasinya?
He Huawu mengatakan, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan membangun jembatan, untuk menghemat luasan tanah yang diperlukan.
"Kami juga akan membangun rel yang selaras dengan jalur kereta api dan jalan tol yang sudah duluan ada," kata dia.
Pemerintah lokal juga akan dilibatkan untuk menangani permasalahan tersebut. "Kami juga mempersiapkan skema ganti rugi bagi masyarakat." (Ein/Ans)