Liputan6.com, Jakarta - Perlambatan ekonomi dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin menghimpit pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah/UMKM. Usaha yang selama ini membentengi Indonesia dari badai krisis terancam kolaps akibat kondisi tersebut.
Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati mengungkapkan jumlah UMKM di Indonesia mencapai 99 persen dan berhasil menolong Indonesia dari krisis keuangan di periode 1997-1998. Sementara porsi konglomerat kurang dari 1 persen.
Advertisement
"Jadi kalau terjadi perlambatan, maka yang melambat adalah usaha yang jumlahnya terbesar itu. Hampir semua sektor tidak berjalan, stuck seperti industri pertambangan tumbuh negatif, industri manufaktur, capital intensif, apalagi industri padat karya," ujar dia dalam Diskusi Senator Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (23/8/2015).
Ia menjelaskan, sektor UMKM dan sektor lainnya terpuruk akibat kelebihan barang produksi yang tak sanggup dilempar ke pasaran akibat penurunan daya beli masyarakat maupun perlambatan ekonomi global.
"Kalau barang yang diproduksi, tidak ada yang beli, mereka tidak mau produksi lagi. Produk tekstil saja sudah tidak keluar sejak 2014. Tapi sayang tidak ada kebijakan konkret dari pemerintah supaya produk bisa terjual," keluh Enny.
Kata dia, pemerintah perlu memahami kondisi dan situasi pelaku usaha, khususnya UMKM melalui kebijakan yang tepat. Pemerintah, lanjutnya, jangan selalu menyalahkan faktor eksternal mengingat akar permasalahan dari turunnya daya beli masyarakat akibat kebijakan pemerintah soal harga.
"Yang memulai daya beli masyarakat turun, karena kebijakan kita sendiri soal harga. Tepatnya saat harga BBM naik secara sporadis tanpa kalkulasi yang matang dan berdampak terhadap daya beli masyarakat," tegas Enny.
Enny berharap, pemerintah dapat menggenjot penyerapan anggaran atau belanja sehingga dapat membalikkan daya beli masyarakat. (Fik/Ahm)