Liputan6.com, Jakarta “Sebenarnya aku agak tidak PD untuk membuat show tunggal perdana ini. Tapi dukungan teman-teman membuat aku sampai di sini,” demikian Hian Tjen berucap pada konferensi pers peragaan busana tunggal pertamanya yang dihelat di hotel Raffles Jakarta, Rabu 19 Agustus 2015. Namanya lebih dahulu dikenal sebagai seorang perancang baju pengantin. Akunya, debut dari fashion show tunggal yang bukan berisi busana pernikahan ini merupakan satu hal penting dalam menancapkan secara mengakar soal identitasnya sebagai fashion designer.
Mengamati bagaimana gelaran busana tersebut ditempatkannya dalam visi dan misi yang begitu penting terkait sartorialitasnya sebagai perancang mode, wajar memang bila rasa kurang percaya diri seperti diucapnya itu juga tampak nyata saat ia menjelaskan kepada awak media perihal koleksi yang akan ditampilkan, di detik-detik dimana peragaan busana itu akan segera dimulai. Momen itu adalah waktu dimana seorang Hian akan ditempatkan pada koordinat tertentu di skema fesyen tanah air. Yang sekaligus berarti soal bagaimana posisinya di antara para desainer Indonesia berbakat, senior maupun junior.
Advertisement
Konsep dongeng berisi sisi jahat dan sisi baik yang menjadi inspirasi dari sekitar 50 karya di koleksi tersebut dijelaskan Hian bukan tidak dengan baik. Cukup jelas. Hanya saja terasa kurang artikulatif untuk menstimulasi otak dalam menghasilkan excitement atas apa yang akan tampil. Tema fairy tale yang ia pakai sudah jamak digunakan. Tanpa kalimat-kalimat penghantar yang memberi petunjuk tentang sisi berbeda dari rancangan-rancangannya, koleksi busana bertema itu bisa jatuh dalam sikap skeptis di awal. Yakni bahwa sosok putri kerajaan yang hadir akan sama saja dengan putri-putri yang umum digambarkan selama ini.
Tapi ternyata, pancaran merah lampu di gelap dan berkabutnya ruang show menjadi bahasa tersendiri yang sontak membuat diri cukup terperangah dan tercipta harapan baik akan peragaan busana itu. Setelah mata mulai terbiasa dengan kondisi itu, dapat terlihat meja makan panjang terbentang di tengah runway yang membagi bidang itu jadi 2 bagian.
Berhias lilin-lilin, meja itu dipenuhi tumbuhan-tumbuhan jalar. Bagai hal yang terbengkalai sejak lama namun memiliki satu kecantikan tersendiri walau juga berkesan seram.
Sekitar pukul 9 malam terungkap bahwa diujung meja itu ialah latar kastil yang juga tampak terabaikan dan dimakan rambatan pohon. Kala musik mengalun membawa pengunjung tiba di alam imajinasi aristokratif nan penuh dark spirit, dongeng Hian resmi dimulai.
Serangkaian rancangan merah menyala menjadi bab pertama yang mengetengahkan karakter kejahatan. Bahwa busana-busana itu terasa sangat kuat, bukan cuma soal warna merahnya. Pada bagian-bagian berikutnya yang menampilkan warna hitam, nuansa emas, baby blue, serta putih, kesan kuat itu tetap hadir meski memang yang berwarna merah terdengar paling lantang.
Karya-karya Hian berada pada dasar siluet yang “umum” namun tertuang di sana desain-desain rumit, baik itu mewujud dalam aksen maupun konstruksi busana serta detilnya. Gaun merah yang memperlihatkan kaki hingga bagian atas paha di awal pagelaran adalah contohnya.
Dari segi karakter, keseksian menjadi salah satu elemen busana-busana itu. Unsur tersebut hadir lebih jelas pada beberapa karya, semisal red long dress berbelahan dada rendah dengan balutan jubah tule tumpuk, sleeveless dress emas bahan sheer berbelahan tinggi hingga ke paha, atau gaun hitam model wrap sedemikan rupa hingga leotard didalamnya nampak.
Dari segala aroma imajinasi dan kemewahan pada kreasi-kreasi fesyen Hian, sebagaimana tampak pada gaun feather hitam putih maupun gold ballgown dengan pasangan outerwear bahan fur, hal yang bisa dicermati adalah bagaimana adi busana bukan eksklusif soal siluet-siluet akrobatik.
Melainkan bahwa ingredient sebuah karya juga merupakan garapan potensial dari genre yang dalam bahasa Prancis disebut haute couture (dan di negara itu diatur secara legal oleh seperangkat hukum hingga tidak sembarang label boleh menggunakannya).
Racikan Hian dalam memadupadankan berbagai tekstur dan ornamen adalah apa yang mampu membuat karya-karyanya dramatis. Lihat saja dress hitam yang bagian pinggang ke atas terbuat dari bahan membentuk floral dan lainnya menggunakan bulu-bulu.
Atau karya bertabur kristal Swarovski yang didapat atas dukungan resmi dari label itu. `Chateau Fleur`, judul koleksi berbahasa Prancis yang berarti `Kastil Bunga`, jelas memberi rupa putri yang tak hanya sebatas gaun-gaun megar.
Putri ciptaan Hian juga melangkah dengan busana-busana yang lebih modern bahkan terkadang edgy tanpa meninggalkan nuansa royal sebagai dasarnya. Tentang hal ini, ragam midi dress tak luput untuk juga disebut selain karya-karya yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Predikat Fesyen Hian Tjen dan Harapan Dunia Fesyen Indonesia
Predikat Fesyen Hian Tjen dan Harapan Dunia Fesyen Indonesia
Meskipun show itu secara kontras terbagi dalam 2 bagian yang masing-masing melambangkan kebaikan dan kejahatan dalam bungkus dongeng yang menjadi inspirasi Hian – dan dalam tata latar mengesankan – kisah good & evil itu sendiri kurang menggaung dibandingkan dengan perhatian akan bagaimana perancang lulusan Esmod Jakarta ini berhasil menunjukkan kemampuannya dalam hal high dress-making. Melalui karya-karya romantisnya di gelaran tunggal perdana tersebut, pria kelahiran Pemangkat Kalimatan Barat pada tahun 1985 itu telah menabur harapan baru akan kemajuan dunia fesyen adi busana Indonesia.
Dan terhadap perancang yang pada malam itu diteguhkan sebagai couturier dengan kapabilitas membuat karya adi busana, sebuah persoalan klasik menghadang. Yakni tentang wajah bisnis fesyen dan pengejawantahan desain ideal di benak perancang mode. Hian punya jawaban sendiri terkait wacana itu kala diwawancara Liputan6.com di butiknya seminggu sebelum peragaan busana dilangsungkan. “Memang harus seimbang antara berjualan dengan berkreasi membuat karya-karya sesuai imajinasi seutuhnya yang mungkin kurang menghasilkan pendapatan,” ucap Hian saat itu.
Hian membuka ruang diskusi dalam relasinya dengan klien, bukan menuruti sepenuhnya ataupun memaksakan imajinasinya sendiri. Hal ini adalah wajah fesyen yang perlu lebih dipahami para fashion designer in-the-making maupun publik. Bahwa fesyen dalam realita hubungan produsen-konsumen adalah soal obrolan mengenai titik temu imajinasi. Masing-masing pihak butuh membuka diri dan artinya bisa mempertimbangkan pengorbanan apa yang dapat dilakukan dan sampai batas mana, entah itu demi pembelajaran ataupun untuk kepuasan emosional.
Melalui deal itulah fesyen dapat tetap terjaga tumbuh di kehidupan sosial dalam jalur perdangangan. Untuk pernyataan eksistensi artistik seorang fashion designer, Hian menempatkan pagelaran busana maupun presensi perancang dan karya-karyanya di media sebagai jawaban.
Tiap desainer tentu punya caranya masing-masing dalam membuat jejaknya di dunia fesyen berkelanjutan tanpa meninggalkan eksplorasi artistik fesyen itu sendiri. Tapi yang pasti diharapkan dari semuanya, termasuk Hian yang berhasil dengan show tunggal perdana adibusananya, adalah bagaimana mereka tanpa putus menawarkan alternatif-alternatif estetika mode agar konsumen tidak mati seleranya.
Sekali lagi ingin dinyatakan, harapan dunia fesyen adi busana Indonesia kini juga dibebankan di pundak Hian. Akan tetapi, jelas bahwa tak bisa kemajuan dunia fesyen Indonesia secara umum hanya dicantolkan pada sesosok desainer muda yang pada tahun 2008 mendirikan labelnya sendiri.
Bagaimana lansekap mode tanah air betul-betul dapat memperlihatkan konturnya di kancah global akan bergantung pada seberapa banyak para perancang busana dan label-label yang didirikannya bisa berkembang menjadi rumah mode dimana perwakilan dari tiap generasi selanjutnya berkontribusi pada eksistensi rumah mode itu. Sebagaimana estafet Christian Dior diteruskan oleh Yves Saint-Laurent hingga kemudian sampai ke era John Galliano dan kini berada di tangan Raf Simons.
Sementara tampaknya masih terlalu dini untuk berbincang dengan Hian soal penerus labelnya, Hian tengah bergelut dalam proyek mencari signature line. Kata Hian kepada Liputan6.com saat diwawancara beberapa waktu lalu, “Aku sedang mencari garis aku, garis yang jika ditunjukkan ke masyarakat langsung dapat dikatakan bahwa itu garis Hian”. Bagi seorang desainer untuk menemukan kekhasannya bukan hal yang salah. Namun demikian, perlu hati-hati dimengerti agar tidak terjerumus dalam jebakan bahwa signature line adalah kewajiban yang harus ditunaikan.
Merujuk pada apa yang ia pamerkan di Chateau Fleur – dan merupakan sebuah kehormatan untuk menjadi saksi “kelahirannya” di dunia adi busana tanah air – sepertinya akan lebih exciting bila seorang Hian Tjen mempersembahkan apa pun yang mengalir di alam fantasinya tanpa disibukkan dengan pencarian garis ciri.
(bio/igw)
Advertisement