Tak Untung dari Pelemahan Rupiah, RI Enggan Ikuti China

Gubernur BI, Agus Martowardojo menuturkan, kondisi nilai tukar rupiah sudah undervalue sehingga tidak dapat keuntungan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 24 Agu 2015, 18:07 WIB
Gubernur BI Agus Martowardojo memberikan keterangan pers usai rapat kabinet terbatas bidang perekonomian di Kantor Presidenan, Jakarta, Rabu (11/3/2015).Rapat tersebut mengenai perkembangan nilai tukar rupiah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menegaskan tidak akan mengekor China dan Vietnam secara sengaja melemahkan mata uang rupiah. Lantaran, Otoritas Moneter mengakui, nilai tukar rupiah sudah terdepresiasi dalam atau overshoot sejak 2013, bahkan nilainya sudah undervalue atau di bawah harga pasar.

Gubernur BI, Agus Martowardojo mengatakan sangat memahami langkah negara-negara besar dan berkembang untuk mendevaluasi mata uang. Hal ini yang sudah dilakukan China dengan sengaja melemahkan Yuan dan Vietnam dengan Dong.

"Pelemahan mata uang oleh negara tertentu pasti ada alasannya karena mereka punya sektor pengolahan, kita bisa pahami itu," ujar dia saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (24/8/2015).

Agus mengatakan, Indonesia tidak akan mengikuti langkah China dan Vietnam mendevaluasi rupiah mengingat kurs rupiah sudah dalam kondisi undervalue atau overshoot. Dia pun berpendapat, Indonesia ini tidak mendapat keuntungan dari pelemahan rupiah.

"Sejak 2013, rupiah sudah cukup melemah. ‎Ekspor Indonesia sebesar 50 persen adalah komoditas primer, sehingga tidak mendapat manfaat dari pelemahan mata uang. Jadi kita tidak akan ikutan kompetisi atau devaluasi mata uang," tutur Agus. 

Seperti diketahui, Agus mengatakan, pada tahun ini terjadi fenomena super dolar AS karena spekulasi kenaikan Fed Fund Rate, pelemahan ekonomi China, devaluasi Yuan sampai mata uang negara tetangga, seperti Ringgit Malaysia yang semakin menekan nilai tukar rupiah.

"Sampai dengan 21 Agustus 2015, kurs rupiah terdepresiasi 12,6 persen atau lebih rendah dibanding Turki 25 persen dan Brazil 31 persen. Tapi lebih tinggi dibanding India, Thailand, Filipina, Korea dan ini akan berpengaruh ke fundamental ekonomi kita," tegas Agus. (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya