Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak menilai ada salah persepsi di tengah masyarakat terkait penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) .
Dalam keterangan yang diterbitkan, Senin (24/8/2015), pemerintah selalu berusaha untuk menjaga kewenangan pemajakan. Hal itu lantaran Indonesia mengenal adanya pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat dipungut oleh Pemerintah Pusat melalui kewenangan yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan pajak daerah dipungut oleh Pemerintah Daerah melalui Satuan Kerja Pendapatan Daerah yang dimilikinya.
Advertisement
Pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Mulai 1 Januari 2010, PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, sedangkan PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap merupakan pajak pusat.
Sedangkan Pajak Daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah meliputi Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Provinsi meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Sedangkan Pajak Kabupaten/Kota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak sarang Burung Walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
Plh. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Teguh Budiharto menuturkan persepsi kalau pemerintah memberikan kelonggaran perpajakan bagi kegiatan-kegiatan hiburan dan kesenian termasuk diskotek tidak tepat.
"Jasa kesenian dan hiburan merupakan obyek pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)," kata Teguh.
Ia menambahkan, selama ini hasil pemajakan atas jasa kesenian dan hiburan telah dikelola pemerintah daerah sebagai Pendapat Asli Daerah (PAD) dengan tarif bervariasi, disesuaikan dengan kebijakan pemerintah daerah masing-masing. Contohnya, DKI Jakarta untuk pajak hiburan berupa diskotek, karaoke, panti pijat, mandi uap, dan spa dikenakan tarif sebesar 20 persen. Sementara atas obyek itu di Surabaya dengan tarif sebesar 35 persen.
"Sesuai UU PDRD di atas, penyelenggaraan hiburan dapat dikenai pajak daerah dengan tarif hingga 75 persen," kata Teguh.
Karena itu, untuk menghindari dua kali pemajakan atas obyek sama (double taxation) serta dalam rangka harmonisasi dengan UU PDRD maka atas jasa kesenian dan hiburan tidak dikenak PPN sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN).
"PMK 158 ini diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum atas jenis jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai PPN, sehingga diharapkan pemerintha daerah dapat lebih intensif, dan tidak terdapat keraguan untuk mengenakan pajak daerah atas jasa itu," kata Teguh.
Sebelumnya jasa kesenian dan hiburan, mulai dari diskotek, bioskop, pertunjukan musik sampai pertandingan olahraga akan terbebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai September 2015. Alasannya untuk memberi ketegasan kepada pemerintah daerah (Pemda) dan menjadi dasar pengenaan pajak daerah.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Direktorat Jenderal Pajak, Mekar Satria Utama, meyakini kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan kontra di masyarakat karena Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan Yang Tidak Dikenai PPN merupakan pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) PP No.1 Tahun 2012. (Fik/Ahm)