Rupiah 14.000 per Dolar AS, Biaya Operasional Pertamina Naik

Nilai tukar rupiah mengalami depresiasi 12,21 persen dari 12.474 per dolar AS di awal tahun menjadi 13.998 per dolar AS pada awal pekan ini.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 24 Agu 2015, 20:01 WIB
Ilustrasi Perusahaan Minyak dan Gas Pertamina

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cukup dalam tentunya sangat dirasakan oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi menggunakan dolar AS. Salah satu perusahaan yang terbebani dengan pelemahan rupiah tersebut adalah PT Pertamina (Persero).

Vice Presiden Corporate Communication, Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan, pelemahan rupiah membuat biaya operasional Pertamina membengkak. "Memang biaya operasi akan tambah," kata Wianda, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Senin (24/8/2015).

Wianda mengungkapkan, untuk meredam pembengkakan biaya operasi, Pertamina memanfaatkan fasilitas transaksi lindung nilai (hedging). "Namun kami sudah ada fasilitas hedging dari Bank Indonesia untuk impor minyak mentah dan produk kilang," tuturnya.

Pertamina juga sudah melakukan langkah antisipasi dengan cash on hand di atas US$ 5 miliar, serta fasilitas utang jangka pendek di atas US$ 8 miliar. 

Untuk diketahui, dalam kurs JISDOR, rupiah berada di kisaran 13.998 per dolar AS. Dolar AS makin menguat terhadap rupiah. Dengan naik 103 poin dari level rupiah 13.895 per dolar AS pada Jumat 21 Agustus 2015 menjadi 13.998 per dolar AS pada Senin 24 Agustus 2015.

Nilai tukar rupiah sudah mengalami depresiasi sekitar 12,21 persen dari 12.474 per dolar AS pada awal tahun 2015 menjadi 13.998 per dolar AS pada awal pekan ini.

Gubernur BI, Agus Martowardojo mengungkapkan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak bisa dipisahkan dari perkembangan dunia yang penuh dengan ketidakpastian.

"Kami tahu hari ini ada global sell off, jadi pelaku pasar modal dunia hampir semuanya sedang melepas sahamnya. Ini berdampak ke Indonesia. Jadi kondisinya sedang dalam ketidakpastian," ujar dia.

Lebih jauh dijelaskan Agus, ketidakpastian itu berasal dari faktor kondisi pemulihan ekonomi Amerika dan spekulasi kenaikan suku bunga acuan The Fed, selain karena anjloknya harga komoditas dan minyak dunia.

Pada tahun ini, kata Agus, terjadi fenomena super dolar AS karena spekulasi kenaikan Fed Fund Rate, pelemahan ekonomi China, devaluasi Yuan sampai mata uang negara tetangga, seperti Ringgit Malaysia.

"Sampai dengan 21 Agustus 2015, kurs rupiah terdepresiasi 12,6 persen atau lebih rendah dibanding Turki 25 persen dan Brazil 31 persen. Tapi lebih tinggi dibanding India, Thailand, Filiphina, Korea dan ini akan berpengaruh ke fundamental ekonomi kita," tegasnya. (Pew/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya