Liputan6.com, Jakarta - Guncangan hebat itu terjadi ketika malam baru saja tiba di Kota Bangkok, Thailand, Senin 17 Agustus 2015. Sebuah bom berdaya ledak tinggi membuat kawasan di sekitar Kuil Hindu bernama Erawan Shrine porak poranda. Tercatat 22 orang tewas seketika dan 125 lainnya terluka.
Kuil ini terletak di persimpangan yang sibuk dengan Skytrain yang selalu penuh setiap hari. Ada juga banyak pusat perbelanjaan di daerah ini, termasuk Platinum Fashion Mall dan Central World, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di dunia.
Advertisement
Meski belum mengetahui motifnya, otoritas keamanan menduga kuat pelaku bukan dari separatis Muslim atau militan Kaus Merah, 2 entitas yang kerap dihubungkan dengan aksi kekerasan di negara itu.
Sejatinya, aksi kekerasan bukanlah hal yang baru di Thailand. Yang membedakannya, serangan ini terjadi di pusat pemerintahan Thailand serta di kawasan yang dikenal sebagai pusat berkumpulnya para wisatawan. Ditambah lagi, begitu sulit mengidentifikasi pelaku serta motif dalam pengeboman kali ini.
Di luar semua pengecualian itu, kekerasan atau serangan bersenjata seolah sudah menjadi kabar biasa di Negeri Gajah Putih ini. Bahkan, boleh dikatakan bom di Kuil Erawan Shrine adalah lanjutan dari aksi kekerasan sebelumnya.
Seperti terjadi pada Jumat 10 April 2015. Sebuah bom mobil meledak di pusat perbelanjaan di Pulau Samui, Thailand. 7 Orang terluka dalam insiden ini.
Juru bicara Internal Security Operations Command Banpot Poonpien mengatakan bom yang disembunyikan dalam sebuah mobil pick-up curian tersebut menghancurkan lebih dari 10 kendaraan yang diparkir di Mal Central Festival.
Samui merupakan bagian dari Provinsi Surat Thani di bagian selatan Thailand yang mengalami kekerasan sejak pihak militer memberlakukan darurat militer. Namun, tak bisa dipastikan apakah bom ini bermotif politik, bisnis, atau terkait kerusuhan yang terjadi di wilayah selatan Thailand.
Sebelumnya, 4 pemberontak tewas dan 22 lainnya ditangkap dalam sebuah baku tembak dengan militer Thailand di wilayah selatan yang bergolak. Ketika itu militer Thailand, kepolisian, dan pasukan Ranger mengepung Desa To Kood di Provinsi Pattani, Rabu 25 Maret 2015 malam.
Sebelum baku tembak, militer mendapat informasi tentang keberadaan kelompok militan yang menuntut otonomi lebih luas bagi wilayah selatan yang mayoritas penduduknya adalah umat Muslim. Selain menewaskan 4 orang, sejumlah pemberontak juga ditahan.
Dalam waktu hampir bersamaan, sebuah granat dilemparkan ke pengadilan Bangkok pada Maret 2015, sementara 2 bom kecil meledak di luar sebuah mal mewah di distrik perbelanjaan utama Bangkok pada Februari 2015.
Pada bulan yang sama, sebuah bom mobil juga meledak di Provinsi Narathiwat sehingga menyebabkan 13 orang terluka.
Seperti diketahui, Thailand telah mengalami serangkaian insiden kekerasan sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada Mei tahun lalu. Kudeta pula yang sejak lama menjadi pemicu kekerasan di Thailand selain konflik etnis di bagian selatan negara ini.
Dilihat sejarahnya, 2 faktor ini yang menjadi akar utama munculnya kekerasan di Thailand, kudeta dan gerakan separatis. Namun, saat ini faktor itu ditambah lagi oleh konflik antarpendukung tokoh politik yang telah membelah massa menjadi 2 kubu, salah satunya kubu Kaus Merah.
Thaksin dan Kaus Merah
Semuanya berawal ketika kondisi yang masih belum pulih dari keruntuhan ekonomi tahun 1997 dan IMF yang terus menekan, penguasa mengadakan pemilihan umum pada tahun 2001.
Pemilu 2001 adalah yang paling terbuka dan bebas korupsi yang pernah diadakan di Thailand dan terjadi penolakan besar-besaran atas intervensi neo-liberal IMF. Thaksin Shinawatra terpilih sebagai Perdana Menteri dengan 40% suara, mayoritas terbesar dalam pemilu Thailand yang terbuka.
Dengan kampanye menentang kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya dan melawan korupsi yang menyelubungi politik Thailand, massa yang telah menderita begitu lama, melihat kebijakan Thaksin sebagai tantangan terhadap sistem yang selalu gagal dalam melayani rakyat dan hanya bisa memberikan penderitaan dan penindasan.
Thaksin bukanlah pemimpin dari kelas buruh atau petani. Dia adalah raja telekomunikasi yang sangat kaya raya, yang lalu menjadi politisi. Thaksin, mungkin tanpa disadari, menjadi kendaraan atas ketidakpuasan massa berkat manifestonya pada 2001 yang menjanjikan perawatan kesehatan gratis, moratorium utang 3 tahun bagi petani dan penyediaan dana baru untuk membantu daerah pedesaan.
Untuk pertama kalinya, massa melihat seorang politisi berjanji melayani kepentingan mereka. Dengan pertumbuhan ekonomi 5-7% per tahun, dukungan untuk Thaksin makin kuat sekaligus membangkitkan ketakutan politisi lain akan popularitasnya di kalangan petani. Tak heran kalau kemudian Thaksin kembali terpilih untuk masa jabatan kedua pada 2005.
Namun, kemenangan itu tak membuat langkah Thaksin menjadi mudah. Para kritikus dan politisi saingan kemudian meluncurkan tuduhan korupsi. Dalam beberapa kesempatan, kaum sosialis dan kaum royalis juga bergabung dalam protes anti-Thaksin.
Tetapi kenyataannya Thaksin masih sangat populer di daerah pedesaan, di antara lapisan yang paling tertindas. Dia mampu memobilisasi aksi unjuk rasa ratusan ribu orang dari seluruh daerah di utara dan timur laut Thailand yang kemudian dikenal dengan sebutan kubu Kaus Merah. Bagi orang-orang yang paling tertindas ia masih dianggap sebagai harapan terbaik untuk mewujudkan perubahan.
Dengan pemilu yang dijadwalkan akhir 2006, militer memutuskan untuk bertindak. Pada Selasa malam, 19 September 2006, Angkatan Darat Thailand melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Thaksin, kurang dari sebulan sebelum pemilu yang direncanakan akan dilangsungkan pada 15 Oktober.
Junta militer membatalkan pemilu yang akan datang, membatalkan Konstitusi, membubarkan Parlemen, melarang unjuk rasa, mengumumkan undang-undang keadaan darurat, menangkap para anggota kabinet, dan memberlakukan sensor terhadap semua siaran berita lokal maupun internasional di Thailand. Tak ada korban jiwa yang jatuh.
Munculnya sang Adik
Kudeta ini memicu ketidakstabilan politik dan konflik antara kaum royalis reaksioner, yakni kubu Kaus Kuning dan para pendukung Thaksin di kubu Kaus Merah, yang berlangsung selama 5 tahun berikutnya. Tahun 2007 partai pro-Thaksin memenangkan pemilu namun kemudian dilarang menduduki jabatannya oleh keputusan pengadilan tahun 2008, yang sebenarnya adalah kudeta yudisial.
Selama periode tersebut, titik kritis terjadi pada 2010 ketika pengunjuk rasa Kaus Merah menggelar demonstrasi besar menentang pemerintahan terpilih, Abhisit Vejjajiva. Aksi ini secara brutal dihentikan dengan kekerasan oleh militer.
Dalam kondisi kacau, kaum penguasa terpaksa menggelar pemilu baru pada Juli 2011 yang membawa Yingluck Shinawatra ke tampuk kekuasaan dengan platform yang memperlihatkan kedekatannya dengan Thaksin, sang kakak kandung.
Namun, tidak seperti kakaknya, ia dihadapkan dengan situasi ekonomi global yang sama sekali berbeda. Perekonomian dunia berada dalam krisis dan dampaknya sangat buruk terhadap Thailand, yang perekonomiannya sangat bergantung pada ekspor yang menyediakan 2/3 dari total PDB.
Ini membuat Yingluck berada dalam situasi sulit, terjebak di antara harapan rakyat pedesaan tempat dia mendapatkan dukungan dan kepentingan kapitalisme yang belakangan juga diwakilinya.
Selama berkuasa, Yingluck telah mengakui kelemahannya dan telah membuat konsesi terhadap monarki dan militer, lembaga-lembaga yang selalu menentang kebijakan Thaksin sekaligus dirinya.
Sikap lemah itu akhirnya mengundang agresi. Pada November 2013 muncul protes yang dipicu usulan Yingluck untuk menawarkan amnesti kepada semua orang yang dihukum selama kekerasan politik tahun 2010, yang memicu para demonstran Kaus Kuning turun ke jalan-jalan di Bangkok.
Kudeta yang Berulang
Yingluck segera menyerah kepada demonstran. Dia tidak hanya membatalkan kebijakan amnestinya, namun ia juga menyerukan pemilihan baru pada Februari 2014. Tetapi alih-alih membuat puas kaum borjuis kecil dan kaum monarkis ini, sikap mengalahnya justru membuat mereka semakin berani.
Karakter kelas dari para demonstran ini terungkap dengan tuduhan terhadap Yingluck dan tuntutan-tuntutan mereka. Mereka menuduh Yingluck menjadi corong dari Thaksin, yang telah tinggal di pengasingan sejak kudeta 2006, dan mereka berdua dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Raja serta sistem monarki.
Para demonstran memboikot dan mengacaukan pemilu pada Februari 2014, namun partai Yingluck mendapatkan suara mayoritas. Mahkamah Konstitusi kembali melakukan kudeta yudisial, dengan menyatakan pemilu Februari tidak sah karena adanya protes-protes kekerasan dari para demonstran Kaus Kuning.
Yingluck kembali menyerah dan menyerukan pemilu baru pada Juli 2014. Tapi kelemahannya mengundang agresi dan Mahkamah Konstitusi kembali menyerang dengan meminta dia untuk mundur sebagai Perdana Menteri karena praktik korupsi yang diduga dilakukan pada 2011. Perintah Mahkamah Konstitusi pada 7 Mei 2014 itu berhasil menyingkirkan Yingluck.
Kondisi yang tak menentu menjadi alasan bagi militer untuk kemudian mengambil alih kekuasaan. Pada 22 Mei 2014, Jenderal Prayut Chan-Ocha mendeklarasikan kudeta militer setelah Thailand dipenuhi ketidakpastian politik. Jenderal Prayuth pun mengangkat dirinya sebagai Perdana Menteri sementara Thailand.
Kendati Thaksin dan Yingluck tersingkir dari puncak kekuasaan, dukungan untuk mereka sebenarnya tak pernah berubah. Hingga kini rakyat pedesaan di Thailand masih menganggap Thaksin sebagai pembela mereka. Banyak yang mengatakan, kubu Kaus Merah hanya menunggu isyarat dari Thaksin untuk bergerak kalau diinginkan.
Namun, bergeraknya kubu Kaus Merah ke Bangkok tentu hanya akan memperkeruh suasana serta menciptakan alasan baru bagi militer untuk bertindak. Di lain sisi, bukan tidak mungkin kubu Kaus Merah terus bergerak dengan cara mereka untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai penindasan. Tak mustahil itu dilakukan melalui aksi kekerasan.
Advertisement
Selatan yang Ingin Merdeka
Narathiwat, Thailand selatan awal September 2010. Pagi itu, Wilas Petchprom dan istrinya Komka berboncengan di sepeda motor menuju pasar sebelum mengajar di sekolahnya. Namun, sebelum tiba di pasar, sebuah serangan bersenjata menghentikan sepeda motor Wilas.
Pembunuhan melalui serangan bersenjata merupakan bagian dari kekerasan bersenjata bernuansa separatis yang beberapa dekade terakhir selalu menghantui Thailand.
Siapa pun yang terkait dengan sekolah umum sering jadi sasaran pembunuhan di provinsi-provinsi Thailand selatan. Alasannya, sekolah umum merupakan simbol dominasi politik dan budaya Thailand terhadap mereka di Thailand selatan.
"Sekitar 70% guru-guru di Narathiwat membawa senjata," kata Sanguan Inrak, ketua dari Persatuan Guru Narathiwat, lembaga yang mewakili hampir 7.000 guru sekolah dasar dan menengah, usai terjadinya pembunuhan terhadap Wilas.
Thailand, negara dengan mayoritas penduduknya beragama Buddha, menganeksasi wilayah di perbatasan Malaysia itu lebih dari 100 tahun lalu. Selama itu pula pemerintah Thailand dituding melakukan pelanggaran HAM dan mencoba menghapus budaya lokal dengan cara asimilasi yang dipaksakan.
Kelompok penganalisa konflik Deep South Watch mengatakan lebih dari 6.300 orang, mayoritas adalah warga sipil, tewas dalam pemberontakan selama 11 tahun di Provinsi Pattani, Narathiwat dan Yala.
"Kekerasan fundamental Islam di Thailand berpusat pada aktivitas-aktivitas separatis penduduk Melayu-Muslim di 3 provinsi, yakni Pattani, Yala, dan Narathiwat," tulis Jason F Isaacson dan Colin Lewis Rubenstein dalam Islam in Asia: Changing Political Realities.
Invasi Pasukan Siam
Di masa lalu, Pattani, Yala, dan Narrathiwat merupakan wilayah Kesultanan Pattani yang awalnya kerajaan tertua di Semenanjung Malaya bernama Langkasuna, yang berdiri pada abad ke-2 Masehi. Ia berulangkali menjadi wilayah kerajaan lain, seperti Sriwijaya, Nakhon Si Thammarat, Sukhothai hingga kembali menjadi wilayah otonom pada abad ke-15 dan menjadi kerajaan Islam bernama Kesultanan Pattani.
Sebagai wilayah otonom, perdagangan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan di Pattani berkembang pesat. Hubungan diplomatik terjalin dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Pattani jadi satu titik penting dalam perniagaan Selat Malaka.
Pattani sempat berjaya di era Sultan Muzaffar Shah pada pertengahan abad ke-16. Sultan mendirikan masjid pertama, Krisek atau Krue Se, di Provinsi Pattani yang berarsitektur Timur Tengah. Zaman keemasan berlanjut pada era 4 ratu yang memerintah sejak 1584, yaitu Ratu Hijau, Ratu Biru, Ratu Ungu, dan Ratu Kuning.
Kekuatan ekonomi dan militernya mampu menghadapi 4 kali invasi kerajaan Siam dengan bantuan kesultanan Pahang dan Johor yang kini bagian dari Malaysia. Namun, itu tak berlangsung lama.
Dipimpin Pangeran Surasi, adik dari Raja Rama I, pasukan Siam menginvasi Pattani pada 1786 dan membagi kerajaan Muslim itu menjadi 3 provinsi.
Setelah dikuasai Kerajaan Siam, wilayah Pattani menjadi daerah yang merupakan wilayah Thai-Budha. Hal itu didasarkan atas perjanjian penentuan daerah antara Kerajaan Thailand pada masa pemerintahan Raja Chulalongkorn dan pemerintahan kolonial Inggris di Malaya, yang mengharuskan wilayah Pattani dan sekitarnya menjadi wilayah kekuasaan Thailand pada 1902.
Sebenarnya, masyarakat Muslim di Thailand lebih suka bergabung dengan Malaya, sekalipun di bawah pemerintahan Inggris, karena memiliki akar budaya yang sama. Tapi sejarah menentukan lain dan dampaknya terasa hingga kini.
Munculnya Gerakan Separatis
Di bawah pemerintahan Thailand yang Buddha, sebagai kelompok minoritas mereka memperoleh perlakuan diskriminatif. Birokrasi negara yang berorientasi Thai-Buddha mengisolasi mereka bukan hanya dalam proses politik tapi juga kultural, agar sesuai dengan kebutuhan integrasi nasional.
Ketika upaya itu gagal, kebijakan lebih keras dijalankan rezim Phibul Songkram pada 1938, yang menekankan asimilasi berbagai budaya minoritas ke budaya monoetnik.
Upaya integrasi itu menimbulkan ketidakpuasan kaum Melayu-Muslim. Identitas budaya mereka terancam. Mereka juga mengeluhkan marjinalisasi budaya, bahasa, dan ekonomi. Maka muncullah gerakan separatis untuk kemerdekaan Pattani.
Pada 1947, Haji Sulong bin Abdul Kadir, kepala Dewan Provinsi Islam Pattani, mempelopori perlawanan terhadap Bangkok. Dia memimpin kampanye petisi penuntutan hak otonom, bahasa, budaya, dan penerapan hukum Islam.
Haji Sulong, bersama beberapa pemimpin agama dan anggota parlemen Muslim, ditangkap, dibebaskan, lalu hilang tak jelas rimbanya. Dia kemudian menjadi simbol perlawanan etnis Melayu-Muslim terhadap Thailand.
Gerakan perlawanan terus menguat. Gabungan Melayu Pattani Raya (Gampar) terbentuk pada 1950 dengan tujuan menggabungkan provinsi-provinsi Muslim Thailand ke dalam Malaya.
Tak lama berselang, Tengku Jalal Nasir yamng dikenal dengan Adul Na Saiburi, wakil Ketua Gampar dan mantan anggota parlemen Narathiwat, mendirikan Barisan Nasional Pembebasan Pattani pada 1959. Langkah ini memicu bentrokan dengan pasukan pengamanan di hampir seluruh provinsi di Thailand Selatan.
Pada pertengahan 1970, lebih dari 20 organisasi separatis muncul di perbatasan Thailand dengan Malaysia. "Pemberontakan-pemberontakan Islam terus pecah untuk menuntut kemerdekaan wilayah Kerajaan Pattani sebelumnya," tulis Peter Chalk dalam "Militant Islamic Separatism in Southern Thailand".
Hingga kini, pergolakan di Thailand selatan tak pernah surut. Banyak pengamat mengatakan, akar masalahnya bukan ada di selatan, melainkan di Bangkok. Alasannya, pemerintah pusat tak pernah mau mendengar masukan dari selatan dan terus memaksakan agar wilayah selatan bisa senada seirama dalam semua hal layaknya wilayah lain di Thailand.
Kudeta Menuju Kuasa
Sejarah Thailand juga tak bisa dilepaskan dari kudeta. Negara ini memiliki sejarah panjang dengan kudeta militer. Sejak tahun 1932, sedikitnya telah terjadi 12 kali pengambilalihan kekuasaan oleh para pemilik senjata itu.
Pakar Asia Tenggara dari Chiang Mai University, Paul Chamber, mengatakan sedikitnya ada 30 upaya kudeta sejak 1912. Sebagian ada yang berhasil dan ada juga yang gagal. Yang jelas, proses intervensi militer dalam politik di Thailand, nyaris tak pernah bisa dilepaskan, hingga kini.
Berikut 12 momen kudeta militer yang dianggap berhasil di Thailand:
1932: Tahun ini merupakan kudeta berdarah yang juga dikenal dengan sebutan Revolusi Siam 1932, yang menjadi titik balik sejarah Thailand.
Sekelompok perwira militer yang dikenal dengan sebutan Four Musketeers, melengserkan kekuasaan Raja Prajadhipok dan mengakhiri kekuasaan kerajaan monarki absolut yang sudah berlangsung selama 7 abad. Dari kudeta ini, muncul konstitusi pertama Thailand dan membuka jalan reformasi sosial dan politik.
1933: Militer melakukan kudeta untuk melengserkan kekuasaan Perdana Menteri Siam pertama setelah 1932, Phraya Manopakorn Nititada. Phraya Phahon yang menjadi tokoh kunci kemudian menjadi perdana menteri kedua Thailand selama 5 tahun.
1947: Di tahun ini militer kembali melengserkan kekuasaan Laksamana Thawan Thamrongnawasawat, yang dipenuhi skandal dan korupsi. Kudeta dipimpin oleh pendiri Partai Demokrat, Khuat Aphaiwong yang kemudian menjadi perdana menteri.
1957: Kudeta tidak berdarah terjadi ketika Raja Bhumibol Adulyadej sedang berada di Lausanne, Swiss. Pelaku kudeta kemudian menunjuk Jenderal Phibunsongkhram sebagai perdana menteri.
1957: Ketika pemilu parlemen 1957 menetapkan kekuasaan Phibunsongkhram, protes massal terjadi di Bangkok dan membuat Raja Bhumibol tidak senang. Akhirnya Jenderal Sarit Thanarat melakukan kudeta dan Pote Sarasain ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan sementara.
1958: Pimpinan militer Sarit Thanarat memimpin kudeta di tahun ini. Berkuasanya Sarit menandai dimulainya kekuasaan era otoritarian politik Thailand.
1971: Dengan alasan perlunya menekan pihak komunis, Jenderal Thanom Kittikachorn melakukan kudeta terhadap pemerintahannya sendiri dan membubarkan parlemen.
1976: Setelah delapan bulan sebelumnya militer melakukan kudeta yang gagal, mereka kembali melakukan kudeta dan melengserkan kekuasaan PM Seni Pramoj. Laksamana Sangad Chaloryu mendeklarasikan dirinya sebagai yang memegang kuasa Dewan Reformasi Administrasi Nasional yang menerapkan status darurat militer di Thailand.
1977: Thanin Kraivichien hanya bertahan memerintah selama satu tahun. Dia dilengserkan melalui kudeta berdarah yang dilakukan oleh orang yang membuatnya berkuasa, Laksamana Sangad Chaloryu. Thanin dituduh menyalahkan kekuasaan dengan menerapkan aturan represif.
1991: Perdana Menteri Chatichai Choonhavan ditangkap ketika hendak menemui Raja. Saat itu Chatichai bermaksud untuk menunjuk seseorang yang berseberangan dengan pihak militer, guna mengisi pos Menteri Pertahanan. Kemudian Jenderal Sunthorn Kongsompong naik sebagai pemimpin Thailand.
19 September 2006: Militer membubarkan pemerintah dan mencabut konstitusi 1997. Thaksin Shinawatra yang menjadi perdana menteri saat itu tengah dalam kunjungan ke New York, Amerika Serikat (AS).
Kemudian status darurat diterapkan di Bangkok setelah kudeta. Thaksin akhirnya lengser dan saat ini berada di pengasingan di luar negeri untuk menghindari kasus korupsi yang diarahkan kepadanya.
22 Mei 2014: Jenderal Prayut Chan-Ocha mendeklarasikan kudeta militer setelah berbulan-bulan Thailand dipenuhi ketidakpastian politik. Jenderal Prayuth pun menangkat dirinya sebagai perdana menteri sementara Thailand.
Namun, kudeta kini mulai dilihat dengan cara berbeda oleh banyak warga Thailand. Kudeta tak lagi dilihat sebagai urusan kaum elite semata. Ini mungkin juga bisa menjelaskan kerapnya terjadi aksi kekerasan di Thailand.
Seperti dikatakan oleh seorang demonstran Kaus Merah: "Kami tidak akan menerima kudeta lagi, seperti pada saat itu. Kami akan berjuang untuk mempertahankan pemerintah yang kami pilih. Dan jika militer mencoba melakukan kudeta lagi, kami siap untuk keluar, untuk mati demi demokrasi."
(dari berbagai sumber/Yus)
Advertisement