Liputan6.com, Jakarta - Nama Fahri Hamzah kembali 'berkibar'. Masih seperti sebelumnya, bukan karena prestasi atau gagasan hebat yang membuat namanya menjadi perbincangan, melainkan lantaran ucapannya yang dinilai tidak patut dan tidak pada tempatnya.
Kalau sebelumnya ucapan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini membuat gerah pendukung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, kalangan santri, pendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kalangan buruh, kini dia menyengat kalangan internal DPR.
Advertisement
Posisi sebagai Wakil Ketua DPR rupanya tidak menghalangi Fahri untuk berkomentar miring tentang koleganya. Karena itu pula dia kemudian dilaporkan sesama anggota DPR atas ucapannya yang dinilai merendahkan wakil rakyat tersebut.
Adalah anggota DPR dari Fraksi Hanura, Inaz Nasruloh Zubir yang melaporkan Fahri ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Pelaporan tersebut terkait pernyataan Fahri yang menyebut banyak anggota DPR 'rada-rada bloon' beberapa waktu lalu.
"Sudah selesai tadi jam setengah 11 siang. Saya serahkan langsung ke sekretariat MKD," kata Inaz saat dihubungi di Jakarta, Senin (24/8/2015).
Inaz mengatakan, meskipun Fahri adalah Pimpinan DPR, dia dianggap tidak pantas mengeluarkan pernyataan yang merendahkan lembaganya sendiri.
"Beliau ini pejabat publik, tidak sepantasnya bicara ini kurang cerdas," ujar dia.
Untuk itu, Inaz berharap MKD segera menindaklanjuti pelaporan yang dibuatnya. Dia ingin, dengan pelaporan tersebut Fahri tidak sembarangan lagi dalam mengeluarkan komentar terhadap lembaganya sendiri.
"Kita minta diproses secepatnya, agar marwah DPR ini terjaga dengan baik," ketus Inaz.
Selain itu, Inaz meminta agar Fahri bisa mengakui kekeliruannya tersebut. Jika jadi Fahri Hamzah, Inaz mengatakan akan meminta maaf secara terbuka karena telah menjelekkan lembaga yang dipimpinnya.
"Kalau saya sebagai Fahri Hamzah, minta maaf. Selesaikan kasus ini dengan gentle. Kalau dia cuek saja, ngomong tidak relevan, tidak pada tempatnya, bukan seorang negarawan. Langkah seharusnya, kalau sudah minta maaf ya sudah selesai. Kita di DPR keluarga, kalau yang salah minta maaf, kita memaafkan," tandas Inaz.
Atas pelaporan itu, Ketua MKD Surahman Hidayat menyatakan akan mempelajari laporan anggota Komisi VII DPR tersebut, apakah ditemukan pelanggaran kode etik dewan atau tidak dari komentar Fahri yang dimaksud Inaz.
"Akan dipelajari, dibawa ke rapim (rapat pimpinan MKD) bagaimana pendapat rapim. Akan berproses," kata Surahman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Saat ditanya kapan akan memproses laporan tersebut, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengaku belum membaca laporan tersebut. Namun dia menekankan, semua pelaporan yang masuk ke MKD pasti akan diproses.
"Belum sampai ke meja saya," tandas Surahman.
Dari Sebuah Wawancara
Masalah ini berawal saat dalam wawancara di sebuah stasiun televisi terkait pembangunan 7 proyek DPR beberapa waktu lalu, Fahri mengatakan, dalam tradisi demokrasi, otak anggota Dewan harus diperkuat. Menurut dia, anggota Dewan dipilih rakyat bukan karena kecerdasannya, melainkan karena rakyat suka.
"Makanya, kadang-kadang banyak orang datang ke DPR ini tidak cerdas, kadang-kadang mungkin kita bilang rada-rada bloon begitu. Akan tetapi, dalam demokrasi, kita menghargai pilihan rakyat," ujar dia.
"Karena itu, kita memberikan kekuatan kepada otak dari orang-orang yang datang ke gedung ini dengan memberikan mereka staf, dengan memberikan sistem pendukung, pusat kajian, ilmuan, peneliti, dan lain-lain. Itulah cara kerja lembaga demokrasi. Ini tentunya memerlukan fasilitas," imbuh Fahri.
Kata 'bloon' atau 'beloon' sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bodoh, tolol atau dungu.
Fahri sudah mengungkapkan pernyataannya dalam akun Twitter @Fahrihamzah saat tahu akan dilaporkan Inaz.
"Jadi seperti saya, mungkin dapil saya memilih saya bukan karena pintar...#Rada2Bloon," kicau Fahri 21 Agustus 2015.
Menurut dia, hal itu pilihan rakyat. Namun, dia telah terpilih sebagai anggota DPR hingga 3 kali periode.
"Kalau saya #Rada2Bloon kenapa ente tersinggung? Saya aja menikmati...pemilih saya senang... Jadi Kalau ada anggota DPR gak paham teori representasi dalam demokrasi ya sabar saja..." ujar Fahri.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai laporan Inaz terhadap Fahri merupakan salah paham semata.
"Itu salah paham saja. Fahri tidak katakan anggota DPR beloon, tapi tidak harus profesor, doktor, sarjana. Kan ada syaratnya minimal SMA dan didukung oleh rakyat kalau ingin jadi anggota dewan," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini juga meminta agar permasalahan tersebut tidak dibesar-besarkan. Karena saat Fahri mengatakan hal tersebut, secara substansial memang ada kaitannya. Yakni setiap masyarakat yang ingin menjadi anggota dewan minimal memiliki ijazah SMA, tak perlu harus profesor.
"Itu salah paham saja, enggak usah dibesar-besarkan. Nanti kita cek, diklarifikasi," tandas Fadli Zon.
Dari Jokowi Sampai Buruh
Tidak hanya anggota DPR yang pernah dibuat gerah oleh Fahri. Pendukung Presiden Jokowi dan kalangan santri juga pernah 'tersengat' oleh mantan anggota Komisi III DPR itu.
Ketika itu, lewat akun Twitter pribadinya, @fahrihamzah, Kamis 27 Juni 2014, Fahri mengatakan janji Jokowi bahwa 1 Muharam akan dijadikan sebagai Hari Santri Nasional jika terpilih menjadi presiden, tidak masuk akal.
"Jokowi janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!" kicau Fahri.
Akibatnya, Fahri dilaporkan oleh tim kampanye Jokowi-JK ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). "Kami mendesak Fahri agar meminta maaf secara terbuka," kata ketua tim advokasi, Mixil Munir, di kantor Bawaslu, Senin, 30 Juni 2014.
Pada Senin 1 September 2014, Fahri juga menyebut kata-kata 'bodoh' saat mengritisi kebijakan Jokowi terkait pengurangan subsidi BBM.
"Katanya ada revolusi mental. Coba bikin sesuatu hebat dong. Kalau cuma cabut subsidi itu mah bukan revolusi mental," ucap Fahri di Gedung DPR, Jakarta.
"Langkah bodoh itu cabut subsidi untuk rakyat. Dikira ada ilmu, ternyata nggak ada ilmu," imbuh Fahri.
Di lain kesempatan, Fahri juga pernah mengusung wacana pembubaran lembaga KPK. Menurut dia, dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi tidak boleh ada lembaga yang sangat kuat atau superbody. Karena, lembaga itu berpotensi tak bisa diawasi.
Usulan itu disampaikan Fahri dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPK di Gedung Nusantara III, Jakarta, Senin 3 Oktober 2011.
Dalam kesempatan itu, Fahri juga meminta penjelasan kepada KPK terkait pemanggilan 4 pimpinan Badan Anggaran sekitar 2 pekan sebelum rapat konsultasi oleh KPK.
"Saya cuma ingin menggarisbawahi, pemanggilan pimpinan Banggar itu sebagai pimpinan atau apa? Artinya KPK harus menjelaskan tujuan dan maksud pemanggilan itu," kata dia lagi.
Fahri menanyakan hal tersebut antara lain, karena KPK memanggil keempat pimpinan itu secara kolektif ke KPK. Selain itu, mengapa pula KPK tidak mengizinkan pimpinan Banggar hadir dalam pertemuan tersebut.
"Ini berarti mereka merupakan tersangka. KPK kadang suka membuat aturan sendiri, entah itu berdasar KUHAP atau apalah," kata dia.
Wacana Fahri pun menuai protes dari masyarakat luas. Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Ma'arif juga mengecam niat Fahri. Syafii mengatakan orang yang hendak membubarkan KPK adalah orang yang sedang oleng dan labil jiwanya.
Terakhir bulan lalu, pernyataan kontroversi kembali dibuat Fahri yang dinilai merendahkan kaum buruh atas komentarnya terhadap absensi anggota DPR pada 3 Juli 2015.
Dalam wawancara melalui salah satu media televisi nasional itu, Fahri mengomentari terkait banyaknya anggota Dewan yang tidak hadir dalam paripurna tersebut. Dalam komentarnya, dia mencontohkan absensi anggota Dewan dengan buruh.
"Teori kehadiran di parlemen berbeda dengan di pabrik. Kehadiran di parlemen adalah voting right, hadir untuk mengambil keputusan, bukan seperti buruh pabrik yang hadir untuk menerima gaji," ujar Fahri.
Seorang netizen bernama Nurhayati asal Tangerang, Banten kemudian menulis pernyataan berisi protes dan membuat petisi untuk menggalang tanda tangan para netizen atau kaum buruh hingga 5.000 tanda tangan. Petisi tersebut mendesak Fahri meminta maaf dan mencabut pernyataan yang dianggap merendahkan kaum buruh itu.
Saat dihubungi Liputan6.com, Fahri menyebut pernyataan dirinya terkait absensi anggota DPR berlaku umum. Tidak bermaksud mendiskreditkan salah satu pihak, apalagi buruh.
"Saya bicara teori absensi yang berlaku universal di seluruh dunia. Bahwa perhitungan absensi bagi politisi di parlemen, murid sekolah, pegawai negeri, buruh, dan pekerja itu beda dasarnya," ujar Fahri.
Kita tentu menghargai pendapat setiap orang, termasuk Fahri. Namun, jika pendapat atau bahasa yang digunakan kerap membuat pihak lain tersinggung, mungkin cara berbahasa atau pilihan kata Fahri ada yang salah atau kurang tepat.
Terkadang, ucapan, pendapat, saran atau kritikan seseorang ada benarnya meski sulit untuk mengakui. Namun, jika semua itu dibahasakan dengan santun dan tanpa niat untuk menjelekkan, melainkan untuk kebaikan, niscaya kemarahan tak akan meletup.
Sebaliknya, kendati pendapat atau saran itu baik dan benar, jika disampaikan dengan api kemarahan atau merendahkan pihak lain, substansinya bisa jadi hilang.
Jadi, cara berbahasa dan pilihan kata seorang pejabat itu memang harus terukur, rapi dan dimengerti tanpa menyakiti. Alasannya sederhana, karena bahasa pejabat di depan publik tidak bisa sama dengan bahasa dalam obrolan antarteman di warung kopi, yang semuanya bisa dimaklumi. (Ado/Rmn)