Pelonggaran LTV Tak Signifikan Bantu Penjualan Properti

Pengembang lebih menunggu pelonggaran aturan KPR inden.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Agu 2015, 11:58 WIB
Ilustrasi Perumahan (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Property Watch (IPW) menilai pelonggaran aturan Loan to Value (LTV) yang membuat uang muka KPR turun dari sebelumnya 30 persen menjadi 20 persen tidak berdampak signifikan untuk menggenjot penjualan rumah. Pengembang lebih menunggu pelonggaran aturan KPR inden. 

Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghanda menjelaskan, sebelum dibuat pelonggaran aturanLTV, pengembang sudah mencoba menjalankan beberapa strategi untuk meringankan uang muka konsumen. Langkah yang dilakukan misalnya dengan meringankan cicilan uang muka atau cash back dari pengembang yang seakan-akan membayarkan dulu uang muka konsumen.

"Sebenarnya yang menjadi permasalahan dan ditunggu-tunggu adalah pelonggaran mengenai aturan KPR Inden yang sangat memberatkan para pengembang," kata Ali seperti ditulis Liputan6.com, Selasa (25/8/2015).

KPR Inden merupakan bentuk pembiayaan yang saat ini dipilih oleh pengembang untuk dapat memperoleh biaya pembangunan rumah sebelum rumah selesai.

Dahulu, aturan KPR Inden hanya mensyaratkan adanya buy back guarantee yang merupakan pernyataan dari pihak pengembang sebagai jaminan. Namun saat ini aturan mengenai KPR Inden diperluas jaminannya menjadi dapat berbentuk aset tetap atau aset bergerak.

Jaminan yang diberikan pengembang kepada bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit dan atau dana yang dititipkan dan atau disimpan dalam escrow account di bank pemberi kredit atau pembiayaan. Nilai jaminan yang diberikan pengembang paling kurang sebesar selisih antara komitmen kredit atau pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh bank.

Menurut Ali, ketentuan ini yang sangat memukul pengembang menengah menengah dengan modal tidak terlalu besar karena mereka harus memberikan jaminannya juga kepada bank melalui escrow account. Padahal sebenarnya jaminan tersebut bisa digunakan pengembang untuk memutar usahanya.

"Bayangkan, dengan bunga bank 12 persen, maka margin pengembang harusnya lebih besar dari itu misalkan 30 persen. Selisihnya sebesar 18 persen semata-mata bukan langsung menjadi keuntungan pengembang melainkan nilai tersebut untuk menjamin sustainability proyek mereka agar dapat berjalan ke depan," ungkap Ali.

Dengan diharuskan pengembang melakukan jaminan tambahan seperti ini, dinilai akan sangat memberatkan pengembang.

IPW berpendapat aspek kehati-hatian perbankan memang baik, namun sebaiknya Bank Indonesia juga melihat karakteristik dari pasar perumahan dan properti itu sendiri dari business sense dan tidak hanya terpaku dengan aturan perbankan yang baku.

Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy menyatakan terimakasih kepada Bank Indonesia yang telah memberikan pelonggaran uang muka KPR, meski diakui aturan KPR Inden masih menjadi penghambat bergeraknya sektor properti karena pelaku bisnis terutama pengembang menengah mengalami kesulitan permodalan.

"Kalau BI menilai pengembang harus bermodal dan tidak bergantung pada dana uang muka konsumen sepertinya tidak relevan," ujar dia kepada Liputan6.com.

Menurut Eddy, setiap pengembang tentu memiliki modal yang diperuntukkan untuk berbagai syarat pembangunan dari mulai pengadaan dan pematangan lahan, perizinan, pajak dan pembelian bahan material. Dimana modal awal itu seluruhnya ditanggung sendiri oleh pengembang tanpa bantuan kredit bank, apalagi uang muka dari konsumen.

Di sisi lain, ungkap Eddy, KPR Inden juga menghadapkan pengembang dengan resiko bisnis yang besar. Dia memberi contoh pengembang apartemen, sangat beresiko kalau harus membangun dulu seluruh gedung, baru kemudian bisa menjual kepada konsumen. Oleh karena itu dibutuhkan test pasar.

"Kalau nanti sudah dibangun, ternyata tidak terjual separuhnya, itu siapa yang menanggung, enggak mau pengembang. Sistem inden itu artinya proyek sudah ada yang beli, sehingga proyek juga lebih aman bagi pengembang dan bank," tegas Eddy.

Dia mengaku paham dengan maksud regulator untuk memastikan proyek perumahan atau apartemen itu dapat ter-delivery dengan aman kepada konsumen, namun Bank Indonesia jangan memukul rata seluruh pengembang. REI menegaskan mendukung adanya tindakan tegas kepada pengembang nakal yang tidak memenuhi janji kepada konsumen.

Menurut Eddy, masih banyak pengembang profesional yang taat aturan. Oleh karena itu, mereka seharusnya didorong agar bisnisnya terus bertumbuh.

Reporter: Muhammad Rinaldi

(Rinaldi/Gdn)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya