Pelemahan Rupiah Tak Ganggu Minat Investasi

BKPM sudah menyelesaikan perizinan pembangunan listrik dari 49 izin 923 hari menjadi 25 izin 256 hari.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Agu 2015, 20:25 WIB
Ilustrasi Investasi (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menegaskan pelemahan nilai tukar rupiah yang menyentuh level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS) belum berpengaruh signifikan terhadap minat investasi di Indonesia. Pasalnya masih terjadi pertumbuhan investasi sepanjang semester I 2015.

"Pelemahan rupiah tidak otomatis mengganggu investasi. Buktinya realisasi investasi tumbuh 16,6 persen di semester I ini, izin prinsip tumbuh 40 persen," ujar Kepala BKPM, Franky Sibarani di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (25/8/2015).

Masih tingginya minat investasi di Indonesia, kata dia, karena pemerintah sangat serius memangkas dan menyederhanakan perizinan dalam rangka percepatan proyek-proyek pembangunan strategis nasional. BKPM, sambungnya, sudah menyelesaikan perizinan pembangunan listrik dari 49 izin 923 hari menjadi 25 izin 256 hari.

Izin perkebunan hortikultura sudah susut dari 20 izin menjadi 12 izin, yakni 751 hari menjadi 182 hari. Perizinan membangun pabrik atau industri dari 19 izin menjadi 11 izin, dengan memangkas waktu 672 hari menjadi 152 hari. Pembangunan kawasan pariwisata hanya butuh izin 11 izin dari 17 izin sebelumnya, dari 661 hari dipotong menjadi 188 hari. Izin ‎di sektor perhubungan, misalnya izin penetapan lokasi terminal khusus dari 21 hari menjadi 5 hari kerja.

"Sekarang ini kita baru menerima lagi 42 izin dari ESDM, 12 izin dari Minerba, kemudian sedang dalam proses 18 izin. Sebanyak 12 izin lainnya terkait dengan Kementerian Kesehatan. Jadi kementerian itu sudah melakukan penyederhanaan izin kemudian diserahkan kepada BKPM untuk dieksekusi," kata Franky. 

Sebelumnya, Analis PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova menuturkan nilai tukar rupiah masih betah di kisaran 14.000 masih dipengaruhi sentimen eksternal. Pertama, ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat. Kedua, China melemahkan mata uang Yuan. Langkah China tersebut membuat kekhawatiran bertambah seiring ekonomi China sudah melambat.

Rully mengatakan, tekanan terhadap rupiah masih cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi China melambat akan berdampak ke pertumbuhan ekonomi Asia. Hal itu mendorong pelaku pasar akan mengalihkan dana investasi ke AS dan Eropa.

"Ada aliran dana keluar karena investor melihat kondisi ekonomi Asia sudah turun. Kondisi ekonomi Asia tidak pasti. Jadi Asia mulai ditinggalkan," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.

Akan tetapi, bila pemerintah Indonesia mampu merealisasikan belanja modalnya ke infrastruktur ada peluang untuk menahan pelemahan dan volatilitas rupiah. "Kinerja ekspor tak bisa diharapkan lagi dan konsumsi masyarakat sudah turun. Jadi penyumbang pertumbuhan ekonomi dari belanja pemerintah," kata Rully.

Rully menambahkan, hingga akhir tahun, sentimen yang akan mendominasi laju rupiah masih dari kepastian kenaikan suku bunga AS dan realisasi belanja pemerintah. Ia memprediksikan, nilai tukar rupiah masih berada di level 14.000 per dolar AS hingga akhir tahun ini.

"Tekanan masih akan berlanjut. Disebabkan prospek ekonomi Asia muram karena ekonomi China melambat. Hal itu berdampak terhadap semua mata uang di Asia termasuk rupiah," kata Rully. (Fik/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya