Rupiah Tersungkur, Dunia Usaha Seperti di Ujung Tanduk

Pengusaha kini mengalami dilema untuk menaikkan harga jual di tengah rupiah tertekan dan ekonomi melambat.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Agu 2015, 22:03 WIB
Petugas menghitung uang pecahan US$100 di pusat penukaran uang, Jakarta, , Rabu (12/8/2015). Reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi-JK, nilai Rupiah terahadap Dollar AS hingga siang ini menembus Rp 13.849. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Dunia usaha sedang di ambang kejatuhan akibat ekonomi melambat dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pengusaha mencoba bertahan di tengah derasnya sentimen negatif yang datang dari dalam dan luar negeri.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia, Aziz Pane mengakui tengah terpuruk akibat pelemahan nilai tukar rupiah mengingat porsi komponen lokal dari sebuah produksi ban hanya 15 persen, sementara sisanya impor yang harus dibeli dalam dolar AS.

"Kalau begini terus, bisnis bisa anjlok. Sekarang ini sudah hampir anjlok, bagaikan di ujung tanduk. Padahal industri ini menyerap 80 persen karet alam, menciptakan lapangan kerja buat petani dan ada multiplier effect," ujar dia saat Diskusi 'Rupiah Terkapar, Bagaimana Dengan Bisnis' di Plaza Semanggi, Jakarta, Rabu (26/8/2015).

Gambaran Aziz terhadap prospek industri ban nasional di tengah sulitnya kondisi ekonomi domestik dan global buram. Dia sulit memperkirakannya, meski saat krisis moneter 1998, perusahaan ban mampu lolos dari badai besar tersebut.

"Saat krismon 1998, industri ini tahan banting. Semua masih bisa lolos. Tapi tidak tahu kalau sekarang," kata dia.

Sementara Wakil sekretaris Jenderal Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), Stefanus Indrayana menambahkan, dunia usaha sedang dilanda dilema. Terjadi kenaikan ongkos produksi, tapi di sisi lain harus diimbangi dengan penyesuaian harga.

"Tapi kondisinya tidak memungkinkan menaikkan harga jual, karena akan menurunkan daya beli masyarakat dalam jangka pendek. Jadi kita harus membuat suatu harmoni agar bisnis terus berjalan," ujar Stefanus.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Haryadi Sukamdani mengatakan kondisi dilema ini memicu omzet perusahaan turun sehingga berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Praktis tenaga outsourcing tidak diperpanjang kontraknya, merumahkan sebagian karyawan. Mengurangi jam kerja," kata dia.

Haryadi mengaku, dari data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), ada 13 perusahaan gulung tikar akibat tidak sanggup lagi menanggung beban berat akibat perlambatan ekonomi dan terpuruknya kurs rupiah.

"Tapi kalau perusahaan yang di bawah naungan APINDO yang tutup belum ada. Mungkin saja pengusaha mau bilang tutup. Karena menurut mereka biar tekor asal tersohor," pungkas dia.

Melihat data kurs tengah BI, depresiasi rupiah telah melemah 12,77 persen menjadi 14.067 pada 25 Agustus 2015.  (Fik/Ahm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya