Liputan6.com, Jakarta - Indonesia kini telah menjadi korban dari gejolak ekonomi global. Selain ketidakpastian Bank Sentral Amerika Serikat (AS) terkait suku bunga, dan keputusan Tiongkok melemahkan mata uang atau devaluasi Yuan juga menjadi sumber masalah bagi Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mengaku apa yang terjadi saat ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia memang masih sangat tergantung pada investasi asing.
Advertisement
Ada fenomena super dolar AS menjadikan mata uang negara di dunia melemah drastis. Pelemahan rupiah di tengah perlambatan ekonomi Indonesia ini yang dikatakan Agus untuk melaluinya tidaklah mudah.
"BI dan pemerintah bersepakat bahwa tantangan ini ada, tetapi tantangan ini akan bisa kita lewati apabila lembaga-lembaga negara, pemerintah, BI, OJK dan lembaga terkait bisa mengeluarkan kebijakan yang konsisten dan kredibel," kata Agus di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Kebijakan yang konsisten dan kredibel tersebut, Agus menuturkan tetap harus mengutamakan ukuran dan ketepatan waktu dalam pengeluaran kebijakannya. Agus mencontohkan, pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan paket kebijakan untuk mendorong masuknya dana-dana orang Indonesia yang ada di luar negeri masuk ke Indonesia.
Diharapkan dengan ada kebijakan itu, akan ada peningkatan investasi di Indonesia dan secara langsung nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan lebih kuat dan tidak mudah melemah akibat isu global.
Agus menambahkan, saat ini struktur ekonomi Indonesia sudah dalam kondisi cukup baik. Banyak hal yang menjadi tolak ukur Bank Indonesia yang menyimpulkan Indonesia saat ini lebih kuat dibandingkan pada tahun 1998 atau 2008 ketika terjadi krisis global.
"Kita harapkan periode ini akan bisa kita lewati, dan kita juga jelaskan bahwa secara fundamental ekonomi Indonesia itu ada perbaikan, fundamental itu terutama yang kita soroti adalah inflasi tadinya 8 persen, mengarah ke 4-5 persen, kemudian transaksi berjalan yang tadinya defisit 4,2 persen GDP sekarang ada di kisaran 2 persen GDP, kita juga lihat neraca perdagangan tahun lalu defisit sekarang sudah bisa surplus," ujar Agus. (Yas/Ahm)