Menguak Pemicu Tragedi Beruntun Penembakan Massal di AS

Setiap 64 hari ada penembakan terjadi di AS. Polemik kontrol atas penggunaan senjata api kembali mencuat.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 28 Agu 2015, 10:18 WIB
Ratusan orang turun ke jalan untuk memperingati satu tahun pembunuhan remaja kulit hitam yang tidak bersenjata, Michael Brown oleh polisi berkulit putih yang memicu kerusuhan besar, di Ferguson, New York, Minggu (9/8/2015). (REUTERS/Rick Wilking)

Liputan6.com, Virginia - Vester Lee Flanagan II menembak mati mantan koleganya yang sedang liputan langsung, Rabu 26 Agustus lalu. Dalam surat bunuh dirinya, ia dengan bangga mengatakan kagum terhadap serangan dan pelaku penembakan Columbine High School tahun 1999 serta penembakan di Virginia Tech 2007.

Ia pun mengakui, penembakan di Charleston, South Carolina adalah pemicunya untuk membeli senjata, dua hari setelah Dylann Roof menembak mati 9 orang di gereja itu.

Ketika terjadi kekerasan melibatkan senjata api terjadi di Amerika Serikat, kesimpulan ini selalu muncul: penembakan massal di AS lebih banyak daripada di negara-negara maju lainnya. Demikian seperti dikutip dari CNN.

Dari tahun 1966 hingga 2012 ada sekitar 90 penembakan massal di Negeri Paman Sam. Sementara terminologi penembakan massal yang digunakan oleh FBI adalah minimal empat atau lebih orang tewas, penembakan bukan karena alasan kelompok tertentu seperti obat-obatan atau perseteruan antar geng serta bukan permasalah domestik atau keluarga.

Jadi, menurut definisi itu tadi, kasus penembakan 2 jurnalis di Virginia bukan dikategorikan sebagai penembakan massal.

90 kasus penembakan massal dia AS adalah sepertiga dari 292 total penembakan massal di seluruh dunia yang terjadi di periode yang sama. Populasi AS sendiri hanya 5% dari populasi dunia, jadi 31% penembakan massal terjadi hanya di AS sendiri.

"Inilah angka statistik yang kami hadapi. Semua orang terkejut dengan angka itu," kata Adam Lankford, seorang asisten profesor bidang kriminal di Universitas Alabama yang menganalisis tentang permasalahan ini.

Lankford memaparkan penelitiannya di depan pertemuan tahunan Asosiasi Sosiolog Amerika minggu lalu. Menurut pria yang pernah meneliti terorisme di Indonesia ini, orang di Amerika Serikat mempunyai kemungkinan lebih besar tewas akibat penembakan massal di tempat kerja atau di institusi pendidikan. Di luar negeri, tipikal insiden ini hanya terjadi saat konflik atau perang.

Di AS, pelaku penembakan bisa mempunyai lebih dari satu jenis senjata, sementara untuk insiden secara global, penembak hanya punya 1 senjata.

Fenomena Peniru

Beberapa peneliti menemukan fakta pembunuhan massal bisa menular: Satu pembunuhan atau penembakan meningkatkan kemungkinan pelaku lain melakukannya hanya dalam waktu 2 minggu.

Insiden terjadi tiga kali lipat pada 2011-2014, menurut analisis terbaru yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health dan Northeastern University. Harvard penelitian menunjukkan bahwa penembakan massal rata-rata terjadi tiap 64 hari sekali. Selama 29 tahun sebelumnya, hanya setiap 200 hari.

Fenomena peniru lebih akut di Amerika Serikat karena pembelian senjata yang lebih mudah diakses daripada di negara-negara lain. "Akses ke senjata api adalah indikator signifikan dari insiden ini," kata Lankford.

Selain itu, faktor kesehatan jiwa juga berpengaruh. Menurut data, kebanyakan pelaku penembakan di AS memiliki catatan permasalah kejiwaan. Namun, anehnya, angka kasus sakit jiwa tidak berbanding lurus dengan jumlah penembakan massal.

Amerika Serikat memiliki lebih banyak senjata dari negara lain di dunia. Diperkirakan ada 270 juta hingga 310 juta senjata api yang beredar di Amerika Serikat. Sementara itu, populasi di AS adalah 319 juta. Menurut Pew Research Center sepertiga dari populasi itu memiliki senjata api.

Negara dengan jumlah tertinggi kepemilikan senjata api berikutnya adalah India, dengan 46 juta senjata yang tersebar di seluruh populasi yang jauh lebih besar dari AS. Ada lebih dari 1,25 miliar. Namun, India bukan lima negara yang memiliki kasus penembakan massal yang mematikan.

Angka-angka itu menunjukkan bahwa undang-undang kepemilikan senjata yang ketat membuat perbedaan. Lankford menunjuk ke Australia sebagai contoh. Negara ini memiliki empat penembakan massal antara tahun 1987 dan 1996. Setelah insiden tersebut, opini publik berbalik melawan kepemilikan senjata dan Parlemen mengesahkan undang-undang senjata ketat. Australia belum memiliki penembakan massal sejak saat itu.

"Tingkat pembunuhan di AS lebih tinggi dari negara-negara Eropa," kata Lankford. Menurutnya, AS akan banyak memiliki tragedi sejenis di masa yang akan datang jika tidak ada kontrol atas penggunaan senjata api. (Rie/Ein)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya