Liputan6.com, Kuala Lumpur - Di sebuah kafe di gedung perkantoran di Kuala Lumpur, Noraini Ibrahim termangu. Kasir kafe itu hanya menunggu pelanggan datang.
Sepinya pelanggan telah ia rasakan semenjak pertengahan tahun ini. Ia juga mengeluhkan harga-harga yang semakin naik termasuk uang sewa rumahnya.
Advertisement
"Saat Idulfitri bulan lalu, kami tidak banyak mengundang keluarga datang karena mahalnya harga pangan," kata perempuan beranak empat seperti dikutip oleh Straits Times.
Malaysia perlahan-lahan terimbas oleh krisis global. Diawali dengan naiknya pajak barang dan pajak jasa akibat defisitnya anggaran pemerintahan Malaysia di bulan April lalu, kini Negeri Jiran menghadapi krisi global di depan mata. Orang-orang Malaysia kebanyakan seperti Noraini akan menghadapi permasalah yang lebih pelik lagi.
Penduduk Malaysia kini mengalami peningkatan harga-harga bahan pokok dan bahan bakar, terlebih China telah mendevaluasi Yuannya yang membuat mata uang Ringgit semakin jatuh.
Menurut data dari Bloomberg, keterpurukan mata uang Ringgit semakin menjadi dalam 17 tahun terakhir. Hingga dapat menyebabkan masalah pertumbuhan ekonomi yang semakin lamat dalam kurun waktu dua tahun ini.
"Sentimen, secara keseluruhan, berada di jurang sekarang," kata Shankaran Nambiar, seorang peneliti senior di Malaysia Institute of Economic Research, "Pasar tidak punya antusiasme lagi."
Dengan melemahnya Ringgit, beban konsumsi retribusi dan subsidi akan terluka. Belum lagi dengan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak terkait dugaan penyimpangan keuangan di sebuah perusahaan investasi negara.
PM Najib juga dikaitkan dalam kasus sumbangan sebesar RM 2,6 miliar (US$ 920 ribu) dari Timur Tengah yang diduga disetorkan ke rekening pribadinya.
Juga kasus dana misterius US$ 700juta atau terkenal dengan kasus 1MDB disangkal olehnya, sementara lembaga anti korupsi membersihkan nama PM Najib dengan mengatakan itu uang sumbangan.
Mata uang Malaysia, di antara negara-negara Asia lain, memiliki kinerja terburuk tahun ini. Nilainya jatuh hingga 12 persen terhadap dolar. Ringgit meluncur pada bulan Juli. Kondisi ini mirip dengan krisis 1998.
Harga-harga bahan pokok di Malaysia telah dirasakan naik hingga 2,5% pada Juni lalu. Belum lagi Pemerintah Malaysia campur tangan memberlakukan kontrol harga secara nasional dalam minggu-minggu sebelum Idulfitri. Mulai dari beras, ayam, cabe hingga kelapa. Konsumen mengeluhkan tindakan pengusaha memanfaatkan momen itu untuk menaikkan harga hingga 6% hingga hari ini.
"Aku datang dari keluarga biasa saja. Dengan naiknya harga-harga seperti ini, kami harus mengurangi konsumsi makanan," kata Cheska Abdullah seorang mahasiswa di Kuala Lumpur. "Kami sudah tidak mungkin makan di restoran lagi. Semua serba mahal."
Nestapa Mahasiswa Malaysia di Luar Negeri
Kesulitan ekonomi juga dirasakan mahasiswa Malaysia di luar negeri. Baik itu yang mendapatkan beasiswa apalagi yang tidak. Mereka dipaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Uang saku mereka yang diterima dalam bentuk Ringgit tidak bisa memenuhi hidup mereka di luar negeri.
Hal ini dirasakan oleh Afif, salah seorang mahasiswa Malaysia di Reading, Inggris. Uang saku dari Departemen Layanan Publik Malaysia, tiap bulannya bahkan tidak cukup untuk makan semenjak Ringgit mengalami depresi sejak bulan lalu.
Reading masuk daftar 10 besar kota metropolitan di Inggris. Berjarak 30 menit dengan kendaraan roda empat dari London.
"Di Reading, akomodasi rumah seharga 850 hingga 900 poundsterling (Rp 18 hingga 19 juta) atau sekitar RM 5.644 hingga 5.976 . Sementara itu uang beasiswa dari JPA hanya sebesar 1.020 (RM6,773). Kami hanya punya sisa 100 hingga 200 pounds untuk transportasi, makanan dan lainnya," kata Afif kepada The Heat Online.
"Jelas ini kurang, kami terpaksa 'korek tabung' dari Malaysia untuk menutup kekurangan. Masalahnya, semenjak Ringgit benar-benar jatuh, kami tak bisa 'korek tabung' lagi, tetap saja kurang. Terpaksa kami harus kerja," jelas Afif.
Di banyak kasus, mahasiswa seperti Afif harus bekerja untuk memenuhi biaya hidup mereka. Karena susahnya pekerjaan di London, mereka terpaksa bekerja sebagai tukang bersih-bersih atau bekerja di restoran dengan bayaran 6,5 poundsterling per jamnya.
Sementara itu, karena ketatnya undang-undang pelajar, mereka hanya bisa bekerja 20 jam seminggu. Namun, kebanyakan dari mereka tidak bisa bekerja maksimal karena tugas-tugas perkuliahan yang menumpuk.
Hal yang sama dialami oleh Aisyah, mahasiswa S2 di Irlandia. Gajinya di Malaysia sebagai pegawai bank hanya 500 poundsterling kalau dikurskan dari Ringgit ke poundsterling.
"Kalau saja aku lebih peka, harusnya aku ambil semua tabungan Ringgitku lalu kualihkan ke Euro atau dolar Amerika. Tapi sekarang sudah terlambat," kata Aisyah.
Advertisement
Hantu Krisis Asia 1998?
Tampaknya di antara negara-negara ASEAN, kali ini Malaysia paling tidak siap menghadapi krisis. Kejatuhan mata uang Malaysia yang sedang berlangsung memiliki banyak penyebab: pandangan global memburuk, jatuhnya harga komoditas dan, tentu saja, skandal politik menyelimuti Perdana Menteri Najib Razak, seperti dikutip dari Bloomberg View.
Vietnam adalah negara pertama yang mendevaluasi Dong untuk menstabilkan nilai ekspor mereka. Thailand yang baru saja mengalami insiden bom di Kuil Erawan melaporkan pertumbuhan lamban ekonomi mereka, yaitu 2,8 persen pada April-Juni dengan pariwisata sebagai pendorong utama. Sektor pariwisata menyumbang sekitar 9 persen, menurut ekonom di ANZ.
Sebelumnya Thailand berhasil melewati kekacauan politik yang mengarah ke kudeta pada Mei tahun lalu, wisatawan telah kembali ke negara yang terkenal dengan pantai dan kehidupan malam, dengan kenaikan kedatangan turis asing hingga 29,5 persen menjadi 14,9 juta pada semester pertama 2015. Negara Gajah Putih ini juga berencana memotong suku bunga Bank Sentralnya mulai September mendatang, seperti dikutip dari Forex Market.
Nampaknya krisis 98 membayang-bayangi Malaysia. Sementara, negara-negara tetangga Malaysia pulih setelah meningkatkan transparansi, memperkuat sistem keuangan mereka, dan membatasi kolusi antara sektor publik dan swasta. Namun, pemikiran ini tampaknya tidak datang di Malaysia. Di mana PM Najib dan koalisinya telah memegang kekuasaan selama hampir enam dekade.
Perbaikan tata kelola perusahaan Malaysia dianggap lambat dan tidak merata. Harapan untuk mengakhiri 46 tahun affirmative action - yang menguntungkan mayoritas Melayu telah memukul mundur investor asing. Upaya untuk menyingkirkan korupsi dan menyapih ekonomi ekspor energi seperti tidak niat dilakukan oleh Pemerintahan Najib. Sementara itu, cadangan devisa resmi turun di bawah US$ 100 miliar untuk pertama kalinya sejak 2010.
Seperti telah Najib menghadapi pertanyaan tentang $ 700juta yang diduga bergerak melalui instansi pemerintah dan perusahaan terkait negara ke rekening milik. Najib membantah, sementara komisi anti-korupsi Malaysia mengatakan itu adalah 'sumbangan.'
Bank sentral Malaysia tampaknya berjuang untuk memperlambat 18 persen risiko Ringgit untuk lebih terpuruk lagi selama 12 bulan terakhir. Ringgit kini mempunyai nilai terendah sejak September 1998.
Gelombang ketidakpuasan terhadap PM Najib
Mereka adalah anak-anak muda yang menamai dirinya 'Bersih.' Rencananya, akhir minggu ini mereka akan mendemostrasi Perdana Menteri Najib sebagai bentuk ketidakpuasan mereka atas pemerintahan Najib ditengah-tengah krisis yang membayangi Malaysia.
"Investigasi PM Najib dan hasilnya harus disampaikan secara bersih dan transparan," kata Maria Chin Abdula, pemimpin Bersih mengenai skandal keuangan Najib kepada Financial Times, Jumat (28/8/2015)
"Meskipun kita bisa singkiran dia, kalau sistem tidak diperbaiki sama saja,"
Polisi Malaysia telah siap menghadapi demonstrasi besar-besaran.
"Ini akan jadi demonstrasi paling besar dalam sejarah Malasyia," kata Ooi Kee Beng, Wakil Direktur dari Institut Asia Tenggara di Singapur. "Ini adalah bentuk ketidakberdayaan mereka menghadapi krisis sekaligus pemerintahan PM Najib."
Bersih dibentuk 2006 dan memulai gerakan demonstrasinya di tahun 2011. Terbesar adalah demonstrasi 2013 saat memprotes sistem pemilu di Malaysia. Saat itu terjadi bentrok antara kelompok berpakaian kuning dengan polisi.
Jangan Panik
Lembaga Perlindungan dan Kesejahteraan Pelanggan Malaysia Datuk Seri Dr Saharuddin Awang Yahya mengatakan untuk tidak panik dengan menurunnya mata uang Ringgit. Ia juga meminta masyarakat lebih bijaksana.
"Beli produk-produk dalam negeri, akan terasa lebih murah," kata Saharuddin kepada Malaymailonline.
"Dengan begitu, kita sebagai konsumen akan membantu perekonomian Malaysia untuk lebih baik,"
Ia juga menasehati agar penduduk Malaysia untuk tidak menyalahkan pemerintah karena ini sebuah krisis global yang memberi dampak tidak hanya Malaysia tapi juga negara-negara di dunia.
"Jangan salahkan mereka--pemerintah--, justru kita harus memainkan peran kita dengan baik," katanya.
Secara pribadi, Saharuddin meminta pemerintah Malaysia untuk mengintervensi Ringgit terhadap dolar dengan menetapkan nilai tukar Ringgit terhadap dolar Amerika, seperti saat krisis financial menghampiri Malaysia 1998.
"Ini langkah tepat untuk tidak membiarkan Ringgit bergerak liar,"
September 1998, Mahatir Mohammad mengambil sikap untuk mematok RM 4,88 per dolar dan memberlakukan kontrol negara. Hal ini yang membuat suksesnya Malaysia menghadapi krisis 1998. Namun, kontrol pemerintah membuat kolusi di dalamnya hingga alih kepemimpinan di bawah kendali PM Najib. (Rie/Ein)
Advertisement