Liputan6.com, Jakarta- Kemunculan pria bernama Syaiton atau Saiton, menyedot perhatian publik. Tidak hanya ramai di media sosial kemunculan pria yang tinggal Perumahan Taman Mekarsari, Blok D2, Desa Sugiwaras, Kelurahan Talang Jambi, Palembang, Sumatera Selatan itu juga menarik perhatian para tokoh publik. Beberapa di antaranya para tokoh agama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun Nahdlatul Ulama (NU).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj bahkan menyarankan agar Saiton, yang berprofesi sebagai guru itu untuk mengganti namanya dengan nama lain yang mempunyai kandungan arti lebih baik.
Advertisement
Namun, tampaknya saran tersebut tidak akan diikuti oleh bapak empat anak itu. Saat berkunjung ke Kantor Redaksi Liputan6.com, Saiton mengaku keberatan bila harus mengganti namanya. Pertimbangannya, ia merasa akan banyak mengalami kesulitan dalam mengurus administrasi terkait dirinya.
"Ya kalau memang harus diganti, beri saya wacana. Karena saya harus mengubah identitas saya dari nol lagi. Sekarang ini kan buat urus KTP, akta kelahiran birokrasinya itu sulit sekali urusnya macem-macem. Rasa sulit sekali, kalau harus ganti," ujar Saiton saat berbincang di Kantor Redaksi Liputan6.com, SCTV Tower, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, (28/8/2015) malam.
Selain harus mengganti identitas dirinya sejak lahir, yang membuat Saiton merasa berat mengubah namanya yaitu berkas-berkas seperti ijazah dari sejak sekolah dasar hingga pendidikan magister administrasi publik yang didapatkan dengan susah payah juga harus diganti.
"Khususnya ijazah, kalau saya ganti nama, saya enggak mau ijazah S2 yang sudah saya dapatkan susah payah harus diganti hanya dengan surat keterangan ijazah. Karena nanti otomatis, ijazah atas nama Saiton, ndak laku dong. Saya enggak mau kalau gitu," ucap dia.
Saiton mengakui dalam ajaran agama yang ia anut, nama berarti sebuah doa, namun demikian, dirinya akan mempertahankan namanya saat ini daripada harus menggantinya. Ia pun mengaku tidak pernah merasa kecewa dengan nama yang dimilikinya saat ini.
Justru ia merasa dengan nama yang ia miliki saat ini, dirinya merasa selalu dimudahkan dan tidak pernah merasa kesulitan dalam mengurus administrasi maupun bergaul dengan masyarakat.
"Saya rasanya selalu dimudahkan, urus surat-surat KTP, KK, semuanya mudah. Ya walau kadang petugasnya sadar, tahu nama saya Saiton, paling hanya tertawa saja, tapi itu enggak masalah," kata lelaki berusia 39 tahun tersebut.
Ia pun mengaku dirinya kerap mendapat peruntungan karena walau berasal dari keluarga yang serba kekurangan, namun berhasil menempuh pendidikan hingga jejang S2 dan memperoleh gelar Magister Administrasi Publik.
"Saya 2004 S1 di jurusan manajemen administrasi publik, lalu S2 pada jurusan yang sama di Stisipol Candradimuka, Palembang. Gelar saya MAP. Dan saat ini sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum di SMK Bistek (Bisnis dan Teknologi) di Palembang," sambung Saiton.
Diminta Ketua NU Ganti Nama
Sebelumnya, Ketua umum PBNU KH Said Aqil Siradj menyarankan agar Saiton mengganti namanya dengan nama lain yang mempunyai arti lebih baik.
"Itu juga tidak etis ya. Berilah nama anakmu dengan nama-nama yang baik. Jangan nama Harb, artinya perang. Sayyidina Ali (sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW) saja waktu mau menamakan anaknya Harb, perang. Enggak boleh oleh Rasul, akhirnya namanya diganti menjadi Hasan," kata Said.
Lalu, apakah pemilik nama Saiton wajib mengganti namanya lantaran mempunyai arti negatif?
"Ya itu tidak, tidak sampai musyrik juga, tapi anjurannya lebih baik diganti atas dasar etika. Apalagi kan jelas Rasul mengingatkan agar memberi nama anak-anakmu dengan nama yang baik," pungkas Said Aqil. (Luq/Ans)