Liputan6.com, Jakarta - Negara tetangga, Malaysia saat ini tengah mengalami berbagai gejolak internal yang mengakibatkan kondisi ekonominya terus menurun.
Setyo Budiantoro, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa mengungkapkan, berawal dari indikasi korupsi Rp 9,3 triliun yang dilakukan Perdana Menteri Najib Razak, rakyat Malaysia kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya.
Krisis kepercayaan ini telah memicu terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan ringgit terpuruk hingga 32 persen dari level tertinggi April 2011.
Krisis kepercayaan juga menggerogoti legitimasi Perdana Menteri Malaysia sehingga berujung pada krisis politik. Di penghujung Agustus 2015 ini, setidaknya 300 ribu demonstran turun ke jalanan Kuala Lumpur dalam gerakan Bersih 4.0 untuk menuntut PM Najib Razak mengundurkan diri dari jabatannya.
"Kejadian ini persis seperti yang pernah terjadi Indonesia tahun 1997. Triple Krisis yang terjadi pada saat itu yaitu krisis kepercayaan, krisis moneter dan krisis politik berujung pada malapetaka," kata dia dalam keterangannya, Senin (31/8/2015).
Ditambahkan Setyo, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini mengakibatkan rupiah tak mampu menahan laju penguatan dolar Amerika Serikat (AS) hingga enam kali lipat, akhirnya membuat ekonomi terjun bebas 13 persen.
Puncaknya, krisis kemudian menjungkalkan Presiden Soeharto pada era 1998. Apakah hal yang sama akan berulang di Malaysia? Kini semua berharap-harap cemas. Investor dan hedge fund tengah berada dalam posisi menunggu waktu yang tepat untuk melakukan posisi short (menjual) mata uang ringgit. Bila situasi politik memburuk, ringgit terancam ambrol.
"Triple Krisis di Malaysia ini sangat mencemaskan bagi Indonesia, ringgit yang ambrol beresiko menyeret Rupiah. Contagion effect (efek menular) mata uang Thailand baht yang jatuh pada 1997 menyebabkan krisis di Asia, dan ketika itu Indonesia adalah negara yang terkena dampak paling hebat," tegasnya.
Ditambahkan Setyo, posisi geografis Malaysia yang dekat dengan Indonesia mengakibatkan kemungkinan paparan krisis cukup besar. Ditambah, saat ini, terjadi sentimen negatif terhadap berbagai mata uang Asia akibat tindakan mendadak pemerintah China mendevaluasi yuan.
“Untuk mengantisipasi kemungkinan rupiah jatuh semakin dalam, Bank Indonesia dan Pemerintah perlu meyakinkan masyarakat dan pasar bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh dari krisis," ungkapnya.
Meski nilai tukar dipengaruhi oleh faktor fundamental, namun fluktuasi mata uang lebih banyak dipengaruhi sentimen psikologi dan kepercayaan pasar. Komunikasi yang intens dinilai perlu dilakukan untuk menenangkan situasi. Dan tentu saja, pemerintah juga perlu menunjukkan keseriusan dalam mengambil tindakan untuk mengantisipasi kemungkinan krisis. (Yas/Ndw)
Advertisement
