Liputan6.com, Jakarta - Mata uang Ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi sekitar hampir 20 persen dalam kurun waktu delapan bulan. Kondisi tersebut bukan saja dapat memicu perang harga antara Indonesia dan Malaysia, tapi juga perang kualitas.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo mengungkapkan antara Indonesia dan Malaysia memang mempunyai beberapa komoditas ekspor serupa, seperti kelapa sawit, timah, karet, produk elektronik dan lainnya.
Advertisement
"Persaingan memang terjadi dari segi harga, tapi kurs rupiah memang sudah melemah sehingga persaingan nanti lebih kepada kualitas," ujar dia saat berbincang usai Konferensi Pers Pengumuman Inflasi Agustus di kantornya, Jakarta, Selasa (1/9/2015).
Sasmito mengatakan, kualitas produk maupun komoditas dari Indonesia tidak kalah bersaing dari milik Malaysia. Namun dia mengakui bahwa Negeri Jiran telah melalui proses selangkah lebih maju dalam membangun industrialisasi. Sementara Indonesia, sambungnya, hanya mengandalkan ekspor bahan mentah.
"Kualitas tidak kalah jauh. Tapi kita masih main di hulu atau raw material, mereka sudah bahan setengah jadi. Malaysia biasanya mengolah CPO yang kita ekspor menjadi produk turunannya seperti minyak goreng, lalu di ekspor atau dijual lagi ke daerah perbatasan kita," terang Sasmito.
Ke depan, tambah dia, Indonesia perlu mengatasi ketertinggalan tersebut dengan membangun industri hilirisasi. Jika tidak bangkit, Sasmito yakin Indonesia akan sulit bersaing dengan Malaysia dan berkompetisi di tingkat dunia.
"Kalau kita mau cari gampangnya saja. Yang penting dapat uang. Kalau begini terus, susah juga bersaing dengan Malaysia, sehingga kita harus bisa meningkatkan proses hilirisasi supaya mampu bersaing di tingkat dunia," tegas dia.
Mata uang Ringgit Malaysia termasuk mata uang yang mengalami pelemahan tajam di kawasan Asia. Ringgit Malaysia telah melemah sekitar 19,87 persen dari posisi 3,4973 per dolar AS pada 31 Desember 2014 menjadi 4,1925 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin 31 Agustus 2015. (Fik/Ahm)