Liputan6.com, Tokyo - Nanae Munemasa mengalami bullying pertamanya saat ia duduk di bangku sekolah dasar. Gadis 17 tahun itu bercerita bahwa ia dipukuli oleh sekelompok anak laki-laki dengan tangkai sapu, dikunci di kamar mandi perempuan. Ia bahkan pernah diserang di kolam renang saat les renang.
"Aku siswa terakhir yang keluar dari kolam renang," kata Nanae kepada CNN. "Kepalaku disambit sikat besar dan aku nyaris tenggelam. Kepalaku benjol besar sesudahnya."
Advertisement
Nanae pun mulai tidak mau sekolah dan bahkan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Sementara itu, seorang siswa laki-laki Jepang lainnya mengalami hal yang sama. Masa, bukan nama sebenarnya, juga berpikiran untuk bunuh diri.
"Seragam sekolahku sungguh berat," kata Masa yang pertama kali di-bully saat masuk sekolah menengah atas.
"Aku tidak bisa menghadapi lingkungan sekolah. Jantungku berdegup kencang. Aku pikir aku bunuh diri. Aku tidak bisa hadapi tekanan saat tahun ajaran baru dimulai tiap 1 September," kata Masa.
Nanae dan Masa tidak sendiri.
Banyak siswa di sekolah-sekolah Jepang melakukan bunuh diri tiap tanggal 1 September dibanding hari lainnya. Menurut kantor kabinet Jepang, 1 September adalah hari 'bersejarah' di mana jumlah anak di usia di bawah 18 tahun melakukan bunuh diri.
Menurut catatan, dari tahun 1972 hingga 2013, ada 18.048 kasus bunuh diri pada anak-anak usia sekolah di Jepang. Atau kalau di rata-ratakan, 31 Agustus ada 92 kasus bunuh diri, 1 September ada 131 anak bunuh diri, dan 2 September ada 94 kasus.
Angka tertinggi juga didapati di bulan April, ketika semester pertama tahun ajaran sekolah Jepang dimulai.
Tingginya angka statistik itu membuat Maho Kawai, seorang pustakawan di Kamakura bercuit di twitternya, "Semester dua sudah di hadapan kita. Kalau kalian berpikir untuk bunuh diri, kenapa kalian tidak datang kepada kami? Kami punya banyak koleksi novel dan komik."
"Tidak ada yang bilang kalau kalian bersembunyi di sini. Ingatlah kami sebagai tempat kalian melarikan diri apabila kalian berpikir untuk bunuh diri di bulan September," tweet Maho.
Sedikit kontroversi mencari kedamaian di perpustakaan, yang bagian dari komite pendidikan, mendorong siswa untuk membolos. Bahkan direktur perpustakaan Takasih Kikuchi berencana menghapus tweet itu. Namun, ia urung lakukan, karena dalam 24 jam, tweet itu dianggap menyentuh hati dan telah di re-tweet sebanyak 60.000 kali.
Sekolah Bukan Pilihan untuk Mati
Tingginya angka kematian siswa tiap 1 September telah diketahui oleh para komunitas guru di Jepang, sehingga membuat mereka membuat surat kabar Futoko Shimbun, untuk para penolak sekolah, serta menyerukan bunuh diri bukanlah pilihan.
"Ini adalah neraka hidup untuk anak-anak yang tahu bahwa mereka akan diganggu di sekolah, namun mereka tidak punya pilihan lain selain pergi," katanya.
"Kami memulai organisasi ini 17 tahun lalu, karena di tahun 1997, ada tiga insiden yang mengejutkan," kata Shikoh Ishi salah satu guru sekaligus relawan untuk mengedit koran itu, kepada BBC 1 September 2015.
"Saat itu ada tiga siswa membakar sekolah mereka, dengan alasan kalau sekolah terbakar, mereka tidak usah kembali ke sekolah," kata Shikoh.
"Saat itulah kami sadari betapa putus asanya siswa kami. Kami ingin sampaikan pesan bahwa kematian bukanlah pilihan," terang Shikoh.
Shikoh sendiri pernah membuat surat bunuh diri saat berusia sekolah. "Saat itu, aku pikir tidak ada pilihan lain selain mati daripada sekolah," kenangnya.
"Aku benar-benar merasa tidak tertolong, karena aku benci semua aturan sekolah, dan aturan murid lainnya. Contoh, murid di Jepang harus memperhatikan 'struktur' murid-murid jagoan untuk menghindari bully. Lalu, meskipun tidak memilih ikutan mem-bully murid lain, kamu yang akan jadi target berikutnya," kenang Shikoh.
Menurut data pemerintah Jepang, 90% murid di Jepang pernah melakukan bullying dan pernah jadi korban.
"Isu besar lainnya adalah, siswa jepang berlomba berkompetisi satu sama lainnya," tambah Shikoh.
Pengalaman keinginan bunuh dirinya dimulai saat ia gagal masuk sekolah SMA elite. Untung saja, orang tuanya menemukan surat bunuh dirinya. Mereka memperbolehkannya untuk tinggal di rumah.
"Aku ingin anak-anak Jepang tahu, kalian bisa kabur dari sekolah," katanya, "Dan semua akan lebih baik."
Advertisement
Seperti Hidup di Neraka
Nanae bercerita ia menjadi target untuk para pembully setelah ia pindah sekolah menjelang akhir semester. Mereka menganggap ia bolos sekolah dan iapun di cap sebagai pembolos.
Ketika bullying memburuk, dia mencoba bunuh diri, tapi ia urung lakukan.
"Aku pikir bahwa tindakan seperti memotong pergelangan tangan akan menyebabkan masalah untuk orang tuaku, dan bunuh diri tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tapi hidup seperti di neraka."
Pada akhirnya, Nanae memutuskan untuk berhenti bersekolah dan tinggal di rumah selama hampir setahun.
Ibu Nanae itu, Mina Munemasa, mendukung keputusan putrinya.
"Nanae mengatakan hal-hal seperti, 'Jika aku melompat dari Menara Tokyo, aku pikir aku bisa terbang," kata Mina. "Sebagai ibunya, aku segera berpikir ada yang salah. Aku tidak pernah berpikir sekolah bisa membuat putriku seperti itu."
Sekarang, Nanae telah kembali ke sekolahnyanya dan juga bernyanyi di band pop disebut Nanakato bersama dengan kakaknya. Nanae berharap bahwa suatu hari mereka akan memiliki penggemar banyak dan terkenal atau konser di luar negeri.
Nanae juga mencoba untuk membantu orang lain yang pernah ditindas dengan menulis blog tentang apa yang pernah ia lalui.
"Ini akan menjadi besar jika blog ku membantu setidaknya satu orang berhenti berpikir tentang bunuh diri," katanya.
Ibu Nanae mengatakan waktu putrinya dihabiskan di Internet adalah faktor kunci dalam membantu dia melewati bullying.
"Dengan menciptakan koneksi dengan orang-orang di Jepang serta negara-negara lain, ia mampu mendapatkan kembali kepercayaan dirinya," kata Mina.
"Orang dewasa cenderung mengatakan bahwa internet berbahaya, tetapi pasti ada beberapa anak yang diselamatkan olehnya." (Rie/Ein)