Liputan6.com, Tual: Kerusuhan antaretnis di kawasan Maluku Tenggara beberapa waktu silam, mengakibatkan sejumlah sekolah rusak. Kondisi itu mendorong Pemerintah Daerah ibu kota Tual, Maluku Tenggara, menggelar program belajar alternatif. "Metode pengajaran sekolah alternatif cocok untuk wilayah konflik," kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Indrajati Sidi, di Tual, baru-baru ini.
Indrajati menilai, konsep pembelajaran sekolah alternatif yang dikelola sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Tual sudah efektif. Siswa diperkenankan memilih waktu belajar pagi atau sore hari. Mereka juga mendapat pelajaran tambahan berupa simulasi dan permainan. "Metode tersebut efisien untuk menghilangkan rasa permusuhan bernuansa etnis dan agama," tambah Indrajati. Dengan bentuk pengajaran yang berbeda dari mata pelajaran biasa tadi, diharapkan motivasi belajar siswa di sekolah bisa terpacu.
Merujuk catatan pemda setempat, selama ini sedikitnya dua ribu siswa --mayoritas pengungsi-- menumpang belajar di 26 sekolah dasar dan 19 sekolah menengah pertama di Tual. Padahal jumlah siswa yang mencapai 1.725 di puluhan sekolah tersebut sudah terbilang padat. Contohnya, 135 siswa di SD Mangon Figitan terpaksa belajar berdesak-desakan. Sebab, pemda menitipkan sekitar 336 siswa pengungsi untuk belajar di sana.(KEN/Iwan Taruna)
Indrajati menilai, konsep pembelajaran sekolah alternatif yang dikelola sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Tual sudah efektif. Siswa diperkenankan memilih waktu belajar pagi atau sore hari. Mereka juga mendapat pelajaran tambahan berupa simulasi dan permainan. "Metode tersebut efisien untuk menghilangkan rasa permusuhan bernuansa etnis dan agama," tambah Indrajati. Dengan bentuk pengajaran yang berbeda dari mata pelajaran biasa tadi, diharapkan motivasi belajar siswa di sekolah bisa terpacu.
Merujuk catatan pemda setempat, selama ini sedikitnya dua ribu siswa --mayoritas pengungsi-- menumpang belajar di 26 sekolah dasar dan 19 sekolah menengah pertama di Tual. Padahal jumlah siswa yang mencapai 1.725 di puluhan sekolah tersebut sudah terbilang padat. Contohnya, 135 siswa di SD Mangon Figitan terpaksa belajar berdesak-desakan. Sebab, pemda menitipkan sekitar 336 siswa pengungsi untuk belajar di sana.(KEN/Iwan Taruna)