Rupiah Semakin Tergerus, Sentuh Level 14.249 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah semakin tergerus pada senin (7/9/2015) dikarenakan membaiknya data ketenagakerjaan AS.

oleh Ifsan Lukmannul Hakim diperbarui 07 Sep 2015, 12:27 WIB
Petugas menghitung uang pecahan US$100 di pusat penukaran uang, Jakarta, , Rabu (12/8/2015). Reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi-JK, nilai Rupiah terahadap Dollar AS hingga siang ini menembus Rp 13.849. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah semakin tergerus pada senin (7/9/2015) dikarenakan membaiknya data ketenaga-kerjaan AS meningkatkan ekpektasi kenaikan suku bunga AS ditengah kebijakan stimulus yang akan diumumkan pemerintah.

Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah melemah 0,5 persen ke level 14.243 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pukul 09.45 WIB. Sejak pagi hingga siang, nilai tukar rupiah bergerak pada kisaran 14.216 per dolar AS hingga 14.249 per dolar AS.

Kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah kembali terkikis 0,4 persen menjadi 14.234 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 14.178 per dolar AS.

Analis PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan, pelemahan rupiah karena membaiknya data ketenagakerjaan Amerika Serikat sehingga meningkatkan ekpektasi pelaku pasar atas kenaikan suku bunga AS. 

Laporan Departemen Tenaga Kerja yang dirilis pada hari Jumat pekan lalu, menunjukkan data nonfarm payrolls bertambah 173 ribu pada bulan lalu, melambat dari kenaikan bulan Juli yang direvisi menjadi bertambah 245 ribu.

Sedangkaan tingkat pengangguran turun menjadi 5,1 persen, terendah dalam lebih dari tujuh tahun terakhir, sehingga meningkatkan ekspektasi kenaikan suku bunga AS.

Sejak akhir tahun kemarin, sentimen kenaikan suku bunga AS memang terus membuat nilai tukar dolar AS perkasa dan menekan hampir seluruh mata uang utama dunia maupun mata uang di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Penguatan dolar AS bertambah besar saat Bank Sentral China menurunkan nilai tukar mata uang Yuan atau mendevaluasi sebesar kurang lebih 2 persen selama tiga hati berturut-turut. Sebelum devaluasi, rupiah bisa bertahan di bawah level 13.900 per dolar AS. Namun setelah devaluasi hari pertama, pada perdagangan intraday, rupiah langsung tumbang ke level 14.000 per dolar AS. 

Sementara itu, para pelaku pasar sedang menunggu paket-paket kebijakan stimulus yang rencananya akan dikeluarkan oleh pemerintah pada pekan ini.  "Para pelaku pasar menunggu paket kebijakan ekonomi yang akan di rilis," jelas Rully.

Untuk mendukung rupiah, pemerintah sebaiknya memangkas peraturan untuk mempermudah investasi. "Peraturan yang dipangkas, untuk mendorong investasi di Indonesia" tambahnya. 

Seperti diketahui, pemerintah sedang menggodok empat paket kebijakan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga menahan kejatuhan nilai tukar rupiah. Empat paket kebijakan itu pertama menyangkut fiskal dan keuangan. Kedua deregulasi besar-besaran yang menyangkut investasi di sektor perdagangan, industri dan pertanian.

Sementara untuk paket kebijakan ketiga berupa insentif percepatan pembangunan smelter, dan keempat menyangkut persoalan pangan. Salah satu aturan yang bakal disederhanakan menyangkut payung hukum di sertifikasi produk halal. Hal ini pernah disampaikan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung.

"Memang ada perubahan (sertifikasi halal), tapi memang ada Undang-undang (UU) baru yang mau keluar. jadi kita mau coba lihat bagaimana caranya. Kita bisa mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI), hanya saja belum sampai ke situ," terang Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Dia optimistis empat paket kebijakan ekonomi tersebut dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mengangkat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sudah nyaris menyentuh level 14.200. "Kalau kami tidak optimistis, ya bagaimana," ujarnya.

Prediksi S&P

Keyakinan pemerintah ini berkebalikan dengan pembaga rating Standard & Poor (S&P). Lembaga tersebut melihat bahwa saat ini tekanan yang dihadapi oleh Malaysia lebih dalam jika dibandingkan dengan Indonesia. Pasalkan, selain tekanan ekonomi, Malaysia juga sedang menghadapi tekanan politik dimana sebagian besar masyarakat di Malaysian menyerukan agar Perdana Menteri menteri Najib Razak turun dari jabatannya karena diduga terlibat skandal korupsi. 

Selama ini memang terlihat mata uang ringgit mengalami penurunan tertinggi di Asia karena jika dihitung dari awal tahun sudah merosot lebih dari 20 persen. Jika dibandingkan dengan Indonesia yang mengalami penurunan 13 persen saja, maka tekanan yang dihadapi oleh ringgit lebih kencang dibandingkan dengan rupiah. 

Namun ke depan keadaan tersebut bisa berbeda. Ada kemungkinan rupiah akan mengalami tekanan yang lebih dalam jika dibandingkan dengan ringgit. Standard & Poor melihat hal tersebut bisa terjadi karena adanya pelarian modal. Capital outflow di Indonesia lebih besar jika dibandingkan dengan Malaysia. Hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi cadangan devisa. 

"Jika digambarkan, pasar modal di Malaysia lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia. Di Indonesia ada ketergantungan pada modal asing antara korporasi atau bank untuk mendanai pertumbuhan mereka," kata Kyran Curry, direktur S & P, Singapura, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (7/9/2015).

"Indonesia jauh lebih rentan terhadap perubahan dalam arus keluar dan arus masuk. Kami khawatir tentang cadangan devisa Indonesia. " tambahnya.

Cadangan Devisa Bank Indonesia telah jatuh hampir 7 persen dalam lima bulan. Sementara itu, cadangan devisa penurunan cadangan devisa Malausia jauh lebih kecil. Curry mengatakan, dia cukup prihatin dengan langkah yang dilakukan oleh otoritas moneter di Jakarta baru-baru ini. "Mereka menghabiskan banyak untuk menstabilkan volatilitas mata uang." tutupnya. (Ilh/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya