Badan Kemanusiaan PBB Bangkrut, Pengungsi Rentan Direkrut ISIS

Melahirkan generasi tanpa vaksinasi dan rentan direkrut ekstrimis

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 07 Sep 2015, 13:02 WIB
Arsip gambar kamp pengungsi Suriah terkait kerusuhan Suriah di tahun 2013

Liputan6.com, Jenewa Badan-badan kemanusiaan PBB melaporkan bahwa mereka berada di ambang kebangkrutan. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar jutaan orang karena jumlah krisis pengungsi yang semakin meningkat di Timur Tengah, Afrika dan Eropa.

Kondisi yang memburuk telah terjadi di Lebanon dan Yordania, khususnya kurangnya makanan dan kesehatan. Hal ini telah menjadi isu tak tertahankan bagi 4 juta orang yang melarikan diri dari Suriah. Alasan inilah yang membuat pencari suaka mengungsi ke Eropa sehingga semakin memperparah krisis saat ini.

"Jika Anda melihat orang-orang yang terlantar akibat konflik per hari, pada tahun 2010 ada 11.000; tahun lalu ada 42.000. Ini berarti peningkatan dramatis dalam kebutuhan, dari tempat penampungan air dan sanitasi, makanan, bantuan medis, hingga pendidikan, " kata Antonio Guterres, Komisi Pengungsi untuk PBB,seperti dikutip dari The Guardian, Senin (7/9/2015).

"Yang terjadi, anggaran yang kami terima tidak dapat dibandingkan dengan kebutuhan. Penghasilan kami pada tahun 2015 turun 10% dari tahun 2014. Secara global, komunitas kemanusiaan berjalan dengan baik. Tapi kami secara finansial bangkrut. "

Beberapa bulan terakhir telah terjadi pemotongan dana untuk jatah makanan bagi pengungsi Suriah di Lebanon dan Yordania serta untuk pengungsi Somalia dan Sudan di Kenya. Pengungsi Darfur yang tinggal di kamp-kamp di Chad telah diperingatkan bahwa jatah mereka mungkin berakhir sepenuhnya pada akhir tahun.

Layanan kesehatan yang dikelola PBB juga telah ditutup di sebagian besar Irak, membuat jutaan pengungsi tanpa akses ke pelayanan kesehatan.

Guterres memperingatkan bahwa dampak kerusakan yang dilakukan akibat pemotongan ini tidak mungkin untuk diperbaiki. "Kami tahu bahwa kami tidak melakukan usaha yang cukup. Kami gagal memenuhi kebutuhan dasar."

Sejumlah anak-anak pengungsi Suriah yang telah tinggal di Yordania dengan keluarga mereka selama 2,5 tahun di kota Madaba, Kamis (9/7/2015). Jumlah pengungsi Suriah di negara-negara tetangga telah melewati 4 juta penduduk. (REUTERS/Muhammad Hamed)

"Situasi susah sekali untuk diperbaiki. Jika Anda melihat jumlah anak-anak yang kehidupannya berubah dramatis akibat gizi buruk, inilah yang telah terjadi. "

Sebagian besar pekerjaan kemanusiaan PBB didanai sepenuhnya oleh sumbangan sukarela dari pemerintah individu dan donor swasta, lewat lembaga-lembaga seperti UNHCR dan UNICEF.

Guterres meminta PBB untuk mengubah sistem ini dan meminta negara-negara anggota untuk melakukan pembayaran lebih teratur ke lembaga utama.

Anggaran dana kemanusiaan secara global untuk saat ini adalah $ 19.52 miliar, tetapi hanya $ 7.15 miliar dari yang didapat dari donor internasional.

Tanggap darurat pengunggsi Suriah hanya didanai untuk 35% dari $ 1,3 miliar yang dibutuhkan. Baik untuk kebutuhan di kamp-kamp, maupun dana untuk negara tuan rumah yang menampung mereka.

Di Afrika, di mana krisis terjadi di Republik Afrika Tengah dan Sudan Selatan jarang menjadi headline berita internasional, dana yang diterima kurang dari 15% saja.

Para ahli mengatakan sistem saat ini harus diubah, mengingat situasi di Suriah, Irak, Yaman serta Republik Afrika Tengah semakin memburuk dan membutuhkan dana jangka panjang.

 


Generasi tanpa vaksinasi

Pada bulan Agustus, kekurangan jutaan dolar memaksa Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO untuk menutup 184 klinik kesehatan di 10 dari 18 distrik di Irak, di mana distrik tersebut telah terjadi pertempuran hebat serta pengungsian besar-besaran.

Pemotongan ini mengakibatkan tiga juta orang tanpa akses ke pelayanan kesehatan.

Ekspresi seorang anak pengungsi Suriah yang telah tinggal di Yordania dengan keluarga mereka selama 2,5 tahun di kota Madaba, Kamis (9/7/2015). Jumlah pengungsi Suriah di negara-negara tetangga telah melewati 4 juta penduduk. (REUTERS/Muhammad Hamed)

WHO sedang mencoba untuk meningkatkan dana hingga $ 60juta untuk mendanai kesehatan di Irak, namun sejauh ini hanya $ 5.1 juta telah diberikan oleh donor.

Dr Michelle Gayer, direktur manajemen risiko darurat di WHO mengatakan kepada Guardian bahwa kesenjangan antara kebutuhan dan dana berada di tahap putus asa. Terutama di negara-negara seperti Irak yang tingkat pendanaannya bisa kerusakan permanen terhadap kesehatan masyarakat.

"Komunitas global, termasuk WHO, berhadapan dengan keadaan darurat skala benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya," kata Gayer.

"Orang-orang belum divaksinasi, kekurangan gizi dan memiliki masalah kesehatan mental karena konflik. Kami seperti memundurkan negara-negara ini ke masa lalu saja. "

Gayer mengatakan keputusan untuk memotong layanan itu sangat sulit. "Kami tidak pernah didanai 100% jadi kami selalu harus memprioritaskan yang butuh. Kini, aku akan sangat patah hati karena harus mengakhiri layanan untuk 3 juta orang," kata Gayer.  Baca: PBB: Konflik Timur Tengah Sebabkan 13 Juta Anak Tak Bersekolah

"Tidak akan ada akses lagi untuk trauma seperti luka pecahan peluru, tidak akan ada akses untuk kesehatan anak-anak atau kesehatan reproduksi. Tidak akan ada pengawasan dari hal-hal seperti kolera. Sebuah generasi anak-anak tanpa vaksinasi," tuturnya sedih.

Gayer mendukung gagasan bahwa harus ada perubahan ke sistem pendanaan saat ini untuk badan-badan PBB. "Kebanyakan orang yang bekerja di luar sektor kemanusiaan, mereka akan kaget jika mereka tahu bagaimana kami melakukan pekerjaan. Kami harus meminta-minta dana untuk tiap tahunnya."


Kesulitan mencari makan, target perekrutan ISIS

Krisis besar lainnya yang dihadapi PBB adalah makan pengungsi, tidak hanya orang-orang yang baru jadi pengungsi tetapi orang-orang yang masih tidak dapat kembali ke rumah.

Tahun ini World Food Programme atau WFP memotong jatah 1,6 juta pengungsi Suriah. Hidup paling rentan terjadi di Lebanon. Mereka hanya memiliki dana $ 13 untuk makanan tiap bulannya. Uang yang sangat minim dan memungkinkan para pengungsi berpaling ke pihak ekstrimis.

Dan pola ini telah berulang di seluruh dunia. Sejak awal tahun, WFP telah dua kali memotong jatah makanan untuk pengungsi di Daadab dan kamp di Kakuma, Kenya utara, serta untuk pengungsi Sudan di Uganda.

Dina El-Kassaby, juru bicara WFP berkantor di Kairo, mengatakan pemotongan jatah mendorong pengungsi ke dalam membuat keputusan yang berbahaya, termasuk kembali ke Suriah atau bepergian ke Eropa secara ilegal.

Turki, yang berbagi perbatasan dengan Irak dan Suriah, telah menerima lebih 847.000 pengungsi sejak pemberontakan ISIS 3 tahun terakhir.

"Ini adalah situasi yang sangat putus asa untuk keluarga. Dalam beberapa minggu terakhir di Yordania dan Lebanon banyak pengungsi yang meminta saya bagaimana mereka bisa mendapatkan salah satu kapal untuk ke Eropa," kata El-Kassaby.

"Kami telah didatang banyak orang yang mengatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali ke Suriah jika tidak mendapat jatah makan."

"Tahun berlalu dan krisis pendanaan semakin parah. Kami telah membuat lebih banyak pemotongan. Ibu-ibu akan mengatakan kepada kami bahwa mereka diusir dari rumah kontrakan mereka dan sekarang tinggal di tempat penampungan sementara di lapangan karena uang sewa rumah mereka dialihkan ke makanan."

"Pikirkan juga tentang orang-orang muda dan anak laki-laki yang bertanggung jawab untuk memberi makan keluarga mereka. Keputusasaan ini bisa membuat mereka menjadi target empuk perekrutan ISIS." (Rie/Mut)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya