Suku Modo di Antara Kebuasan Komodo

Meski hidup di tengah alam yang tak ramah, Suku Modo di Pulau Komodo, NTT, terkenal memiliki daya juang hidup yang tinggi. Daerah mereka adalah tempat pelestarian reptil purba komodo.

oleh Liputan6 diperbarui 05 Nov 2001, 03:24 WIB
Liputan6.com, Pulau Komodo: Pulau Komodo yang terletak di antara Pulau Sumbawa dan Flores, Nusatenggara Timur, tak hanya dikenal dunia karena dihuni reptil purba komodo. Ternyata, sekelompok manusia yang menamakan dirinya Suku Modo juga mendiami pulau tersebut. Bahkan, sejak dahulu kala, mereka terbiasa hidup berdampingan dengan biawak raksasa tersebut. Kendati demikian, saat ini, sejumlah permasalahan mengganjal keseharian masyarakat Suku Modo. Betapa tidak, sejak tahun 1980, pemerintah menetapkan tanah warisan leluhur mereka sebagai kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Namun, keberadaan TNK tampaknya tak menggentarkan warga Suku Modo. Mereka tetap berkeinginan mendiami tanah kelahirannya, walaupun pemerintah setempat sudah menyerukan untuk memindahkan ke tempat lain. Tak hanya itu, orang Modo --begitu mereka disebut-- mengalami perubahan mata pencaharian hidup, dari masyarakat petani menjadi nelayan lantaran kondisi alam yang kering. Bahkan, sebagian dari mereka menjalani profesi sebagai perajin yang tentunya seiring dengan perubahan Pulau Komodo menjadi kawasan wisata.

Bila mengunjungi kawasan tersebut, biasanya para turis asing maupun lokal terlebih dahulu menuju Bandar Udara Labuanbajo, wilayah barat Flores, NTT. Setelah itu, para turis menaiki angkutan umum menuju Pelabuhan Labuanbajo yang menjadi pintu gerbang ke Pulau Komodo. Selanjutnya, dengan menggunakan speedboad perjalanan laut itu menghabiskan waktu sekitar dua jam. Begitu sampai di Pulau Komodo, pemandangan alam nan indah seolah menyambut kedatangan para pengunjung.

Di tempat inilah --sekitar seabad lampau-- seorang ahli biologi berkebangsaan Belanda terdampar lantaran kerusakan mesin pada kapal yang hendak mengangkutnya menuju benua Australia. Ia adalah Owens, orang asing pertama penemu reptil raksasa yang dianggapnya sebagai "cucu naga." Bayangkan saja, panjang tubuh satwa langka dewasa tersebut dapat mencapai tiga meter. Kadal raksasa inilah yang kemudian bernama komodo atau sebutan latinnya varanus komodoensis. Sayangnya, saat ini, binatang langka dan buas itu diperkirakan tinggal berjumlah 2.600 ekor.

Tentu saja, kondisi tersebut cukup memprihatinkan. Padahal, reptil besar itu di dunia hanya hidup di Pulau Komodo yang luasnya mencakup 332,4 kilometer persegi. Sedangkan wilayah seluas 173.300 hektare ditetapkan sebagai kawasan TNK. Hal itu untuk melestarikan satwa langka tersebut. Karena itu, tak heran bila seluruh penjuru dunia pun memusatkan perhatiannya di tempat tersebut. Kendati demikian, pada tahun 1974, seorang turis berkebangsaan Swiss diketahui sebagai orang pertama yang dimangsa komodo. Bahkan, sejumlah makam yang terletak di pesisir seakan memperingatkan kepada pengunjung akan keganasan binatang melata raksasa tersebut.

Menurut sebuah penelitian, komodo adalah binatang pemangsa daging atau karnivora. Hewan jenis karnivora itu biasanya memangsa kambing dan rusa. Namun, tak jarang biawak raksasa itu memakan bangkai jenisnya sendiri. Sekalipun tidak berbisa, satwa langka tersebut sangat beracun. Betapa tidak, hewan lain atau orang yang tergigit dapat mati karena racun pada gigi komodo. Kebuasan komodo juga dipengaruhi habitatnya yang merupakan daratan kering. Dengan kata lain, hanya binatang yang mampu beradaptasi di tempat keras inilah yang dapat bertahan hidup.

Serupa dengan hewan komodo, orang Modo pun terkenal akan daya juang hidupnya yang besar. Suku Modo yang kini lebih dikenal sebagai orang Komodo --sebutan orang luar terhadap mereka-- justru sudah mengantisipasi keberadaan kadal raksasa tersebut. Sebab, bukan tak mungkin binatang melata itu bakal menyerang mereka. Itulah sebabnya, mereka membangun rumah panggung di pinggir pantai. Hal itu bukan saja menghindarkan diri dari serangan komodo, tapi juga babi hutan.

Pada awal 1930, populasi Suku Modo tercatat hanya sekitar 140-an jiwa. Namun, hingga saat ini, sudah berkembang menjadi 1.140 jiwa. Umumnya, mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Modo. Bahasa asli itu bisa dikatakan menyerupai bahasa Manggarai. Sementara mata pencaharian awalnya adalah berkebun dan berladang dengan pembagian tanah ladang secara adat. Namun, kondisi alam yang kering menyebabkan sebagian dari mereka beralih mata pencarian sebagai nelayan atau mengumpulkan ikan-ikan kecil.

Sementara sebagian orang Modo lainnya berprofesi sebagai perajin, menyusul kebijakan pemerintah daerah NTT yang membuka kawasan itu sebagai satu di antara tujuan wisata. Haji Nuhun, misalnya. Ia dapat disebut sebagai pelopor bisnis kerajinan patung di Pulau Komodo. Selama bertahun-tahun, ia menekuni dunia patung mematung dengan menciptakan bentuk dan gaya komodo dalam berbagai ukuran. Harga yang ditawarkan berkisar Rp 35.000 hingga Rp 2 juta per patungnya. Begitulah sekelumit kehidupan masyarakat Modo yang menjalani hidupnya di TNK --tempat satwa liar sisa hewan purba komodo dilestarikan.(ANS/Tim Potret)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya