Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyebut ada mafia pulsa listrik. Rizal menganggap mafia tersebut menyedot sisa uang pelanggan saat jumlah token yang diterima tak sesuai dengan yang dibayar.
PT PLN sebagai penyedia listrik tersebut membantah ada mafia listrik pada sistem listrik prabayar. Direktur perencanaan dan pembinaan Afiliasi PLN, Murtaqi Syamsuddin mengatakan, tudingan adanya mafia pulsa listrik tak benar.
Advertisement
"Tudingan ada mafia pulsa listrik itu berlebihan. Statement itu dilontarkan tanpa klarifikasi ke PLN," kata Murtaqi kepada Liputan6.com, Selasa (8/9/2015).
Selama ini, dinilai banyak yang salah persepsi mengenai hitung-hitungan pulsa listrik.Kepala Divisi Niaga PLN, Benny Marbun menjelaskan hitung-hitungan pembelian pulsa listrik tersebut.
Benny menyebut untuk listrik rumah tangga berdaya 1.300 VA misalnya, hanya akan mendapatkan pulsa 71,08 kWh, bukan Rp 71 ribu saat membeli pulsa dengan nilai Rp 100.000.
Berikut hitung-hitungan pulsa listrik menurut PLN.
1. Administrasi bank Rp 1.600. (Tergantung bank-nya, ada yang mengenakan Rp 2000)
2. Biaya Meterai= Rp 0 (karena transaksinya hanya Rp 100 ribu saja)
3. Pajak Penerangan Jalan Rp 2.306. (PPJ di DKI 2,4% dari tagihan listrik). (Ini yg membedakan beli pulsa telpon dan beli pulsa listrik. Beli pulsa listrik ada PPJ)
4. Sisa Rupiah untuk listrik= 100.000 - (1.600 + 2.306)= Rp 96.094.
5. Listrik yang diperoleh = Rp 96.094/1352 = 71,08 kWh. Di mana tarif listrik adalah Rp.1.352/kWh.
"Ketika membeli listrik Rp 100 ribu, dapatnya 71,08 kWh. Besaran kWh inilah yang dimasukkan ke meter, bukan Rp 71 ribu. Biaya meterai, untuk transaksi Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta, dikenakan biaya meterai Rp 3.000. Di atas satu juta rupiah dikenakan biaya meterai Rp 6.000. Hal PPJ, dipungut atas dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Seluruh hasil pungutan PPJ disetorkan ke Pemda," tutupnya. (Zulfi Suhendra/Ndw).