Tanpa Mata, Pria Ini Dapat Melihat dengan Mudah

Ben kehilangan kedua bola matanya di usia tiga tahun, setahun setelah dia didiagnosa kanker retina (retinoblastoma).

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 10 Sep 2015, 13:00 WIB
Ben kehilangan kedua bola matanya di usia tiga tahun, setahun setelah dia didiagnosa kanker retina (retinoblastoma).

Liputan6.com, Jakarta Selalu ada bocah yang merasa dirinya keren ketika berhasil membully teman mereka yang kurang beruntung secara fisik. Ketika duduk di kelas 5 sekolah dasar, Ben Underwood yang tunanetra juga pernah coba dibully oleh temannya. Bocah itu mengendap-endap, meninju wajah Ben lalu kabur. Satu hal yang tak diketahui bocah itu adalah Ben `bisa melihat` meski kedua matanya buta. Ben mengejar bocah tersebut lalu balas memukulnya.

"Aku mengejarnya, (menggunakan) clicking (membuat suara decakan untuk mengukur pantulan suara sebagai penunjuk situasi atau objek di sekitarnya) sampai aku mendapatkannya lalu membalas perbuatannya," ujar Ben.

"Dia tidak mengira aku akan mengejarnya. Sesungguhnya aku bisa mendengar dinding, mobil yang terparkir, apa saja. Aku sangat menguasai hal ini," lanjutnya.

Ya, Ben Underwood bukanlah penyandang tunanetra biasa. Dia bisa berkeliling area tempat tinggalnya di Sacramento sambil berseluncur di papan luncur, main basket, berlari turun dari tangga tanpa membentur apa pun. Semua dilakukan Ben layaknya remaja sehat seusianya, tulis laman People. 

 


Kehilangan penglihatan di usia 3 tahun

Ben kehilangan kedua bola matanya di usia tiga tahun, setahun setelah dia didiagnosa kanker retina (retinoblastoma). Di usia lima tahun Ben mulai belajar memahami dan mengetahui letak objek dengan membuat suara khusus dengan lidahnya lalu mendengar pantulan suara dari permukaan di sekitarnya. Pantulan suara decakan Ben akan menunjukkan padanya objek apa saja di sekitar, misal jika pantulan suara yang dihasilkan lembut mengindikasikan objek di dekatnya terbuat dari besi (metal), kuat (kayu), tajam dan jelas (kaca). Teknik ini disebut `clicking` (decakan) atau ekolokasi. Teknik ini juga digunakan oleh makhluk hidup lain seperti kelelawar dan lumba-lumba.

Kemampuan ekolokasi Ben di atas rata-rata dibandingkan penyandang tunanetra pada umumnya. Wikipedia mencatat, selain Ben ada enam orang penyandang tunanetra lain yang juga fasih menggunakan teknik ekolokasi, yakni Ben Kish, pemusik Tom De Witte, Dr. Lawrence Scadden, Lucas Murray, ilmuwan Kevin Warwick, dan Juan Ruiz.

"Kemampuannya sangat langka," ungkap Dan Kish, psikolog sekaligus pengajar teknik ekolokasi bagi tunanetra. "Kemampuannya melebihi batas persepsi umum manusia," lanjutnya.

"Berdasarkan pengamatan saya, Ben berdecak setiap setengah detik, sementara lumba-lumba melakukan 900 decakan per detik. Sementara kelelawar lebih dari itu," ucap Peter Scheifele, peneliti dari University of Connecticut yang mempelajari pendengaran dan suara yang dihasilkan oleh binatang dan manusia, dikutip dari laman abcnews. 

 


Didukung keluarga

Perilaku Ben yang sama sekali tak mencerminkan kekurangan yang dimilikinya tak lepas dari dukungan keluarga, terutama sang ibu, Aquanetta Gordon. Aquanetta selalu menyemangati dan meyakinkan putranya bahwa dia bisa melakukan apa pun yang diinginkan.

"Aku selalu berkata padanya, `Namamu adalah Benjamin Underwood, dan kamu bisa melakukan apa saja,`" kata Aquanetta. "Dia bahkan bisa menerbangkan pesawat jika dia mau," tandasnya bersemangat.

Kisah Ben yang luar biasa menginspirasi ini pun mendapat sorotan dari banyak media. Sayangnya Ben menghembuskan napas terakhir di usia 16 tahun, Januari 2009 silam akibat kanker yang sama yang menggerogoti kedua bola matanya.

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya